Pertama-tama saya akan bilang “New Normal” ini sebenarnya adalah back to normal. Justru kehidupan kemarin itu yang abnormal.
Kedua, saya akan cerita apa itu hiperrealita.
Sederhananya, ketika Anda beli segelas kopi di coffee stall bermerek tertentu seharga Rp 40 ribuan, mengapa segelas kopi bisa begitu mahal?
Anggaplah harga dasar kopi itu Rp 7 ribu, maka Rp 33 ribu sisanya Anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbol coffee stall asing itu. Angka Rp 33 ribu itulah hiperealita. Sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.
(Untuk diketahui, istilah hiperalita diperkenalkan oleh filsuf Prancis bernama Jean Baudrillard dalam buku Simulacra, 1981).
Kita sesungguhnya tidak akan menemui hiperealita sedahsyat kemarin andai saja tidak ditemukan yang namanya facebook, instagram, twitter, dan teman-temannya.
Tiba-tiba datanglah Covid-19. Mendadak kita semua takut keluar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa-apa serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para hiperrealista? (sebutan saya untuk pelaku hiperrealita).
Coffee stall asing itu sepi, kafe sepi, mal sepi. Tidak ada orang yang meng-uplod imej-imej mereka di outlet-outlet pendongkrak citra diri itu. Masihkah relevan kebutuhan akan luxury, prestise, dan status hari ini? Masih mungkinkah kita membutuhkan itu? Atau kita langsung ke puncak pertanyaannya: masihkah dibutuhkan hal-hal seperti itu hari ini?
Pandemi Covid-19 ini ibarat tombol resert. Sekali ditekan langsung semua berbondong-bondong menuju ke titik awal. Kita sudah merasakan PSBB, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yang kita butuhkan saja. Ini kabar buruk untuk usaha seperti pariwisata, hotel, mal, kafe-kafe, dan semua usaha yang menjadikan citra, luxury, atau prestise sebagai core bisnisnya.