Ada pernyataan sekaligus pertanyaan menggelitik dari Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Sahiron Syamsuddin. “Jika Anda ingin mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Islam, pertanyaannya adalah Islam-nya siapa yang akan dipakai sebagai dasar negara?”
Pernyataan sekaligus pertanyaan doktor pemikiran Islam tersebut diungkapkan dalam Webinar Pancasila yang diselenggarakan oleh Jejaring Dunia Santri pada Senin (15/6/2020). Webinar bertema “Meneguhkan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa di Era Milenial” ini juga menghadirkan nara sumber lain, yaitu guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta, Sekretaris Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Abdul Mun’im DZ, dan peneliti senior Bisri Effendy.
Dalam Webinar Pancasila yang dimoderatori Kepala Makara Art Centre UI al-Zastrouw Ng ini, Sahiron membawakan materi berjudul “Relasi Agama dan Pancasila”. Menurutnya, NKRI yang dasar ideologisnya adalah Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, hal itu menurutnya dapat dibilang sebagai itba Rasul, atau mengikuti apa telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Menurutnya, Muhammad menjadi pemimpin Negara Madinah didasarkan pada suatu perjanjian atau kesepakatan bersama yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Kenapa kesepakatan dibuat? Sebab, masyarakat Madinah juga plural, beragam latar belakang suku dan agama yang dianut, seperti halnya masyarakat Nusantara.
“Untuk menjamin masyarakat hidup rukun dan damai, maka dibuatlah kesepakatan bersama, yaitu Piagam Madinah itu. Dengan kesepakatan itu, setiap orang dijamin kebebasannya, termasuk kebebasan dalam menjalankan agama masing-masing,” Sahiron menjelaskan. “Setiap orang harus menghormati kesepakatan tersebut,” tandas Sahiron.
Islamnya Siapa
Dalam konteks NKRI, demikian lanjutnya, keberadaan Pancasila mirip dengan Piagam Madinah tersebut. Bahkan, bisa jadi para kiai atau ulama yang ikut terlibat aktif dalam perumusan dasar negara ketika Indonesia baru merdeka terinspirasi perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad tersebut.
“Karena itu, Pancasila tidak bertentangan dengan Sunah Rasul dan justru wajib dipertahankan,” Sahiron memberi penegasan.
Kenapa wajib dipertahankan? Sebab, masyarakat Nusantara ini sangat plural, baik dari segi suku, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dan adat istiadat atau tradisinya. Di wilayah tertentu, seperti Jawa, mayoritas penduduknya muslim. Namun, di wilayah lain, muslim justru minoritas. Di Bali, misalnya, mayoritas penduduknya Hindu. Di Nusa Tenggara Timur dan Papua, mayoritas Kristen. Di Pulau Sumatra pun “terbelah-belah”: ada kantung-kantung yang mayoritas muslim, ada juga yang Kristen atau beragama lain.
Sahiron kemudian memberi gambaran, begitu, misalnya, di Jawa diproklamasikan sebagai Negara Islam, maka di Bali akan berdiri Negara Hindu, di NTT atau Papua akan muncul Negara Kristen, dan begitu seterusnya. “Maka yang terjadi NKRI akan tercabik-cabik oleh perang saudara,” ujar Sahiron.
Kalaupun, dia memisalkan, mayoritas penduduk menyetujui Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: Islamnya siapa? “Apakah Islamnya NU, Islamnya Muhammadiyah, Islamnya kelompok HTI, FPI, Wahabi, atau Islamnya siapa? Islamnya orang Aceh atau Islamnya orang Jawa?”
Sebab, menurutnya, penganut Islam itu tidak tunggal, yang pemahaman dan pengamalannya juga tidak tunggal pula. Dari sisi fikih atau hukum syariat yang dianut Ahlusunnah Waljamaah saja ada empat mazab, yaitu Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafii. Terus, mazabnya siapa yang dipakai sebagai dasar hokum Islamnya. Belum lagi dari sisi teologi, ada Jabbariyah, Muktazilah, Asyariyah, dan banyak lagi.
Dengan begitu beragamnya kelompok-kelompok penganut Islam sendiri, Sahiron memastikan nyaris mustahil mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila menjadi negara Islam. Karena itu, jika ada orang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam, maka ia akan mengajukan pertanyaan ini: Islamnya siapa…