Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir membawa dampak signifikan terhadap cara umat Islam memahami mazhab dan membentuk identitas keagamaannya. Jika dahulu otoritas keagamaan terutama bersumber dari ulama lokal, pesantren, dan institusi resmi, kini referensi keislaman tersebar luas di platform media sosial, kanal video, serta situs web yang dapat diakses siapa saja. Lanskap baru ini menciptakan peluang luas untuk memperkaya wawasan, tetapi sekaligus memunculkan tantangan serius berupa banjir informasi yang tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks mazhab, era digital membuat umat Islam semakin sering berinteraksi dengan pandangan lintas tradisi fikih. Pendapat ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tersedia dalam satu sentuhan layar, sehingga pemahaman mazhab tidak lagi terbatas pada tradisi yang dianut secara turun-temurun di suatu wilayah. Perpindahan ini menjadikan mazhab berfungsi bukan hanya sebagai identitas komunal, tetapi sebagai kerangka metodologis yang harus dipahami secara kritis. Masyarakat, khususnya generasi muda, mulai memilih pendekatan yang lebih rasional, kontekstual, dan sesuai dengan kebutuhan kehidupan modern, tanpa meninggalkan prinsip dasar syariat.

Namun, dinamika tersebut turut menghadirkan persoalan baru. Akses informasi yang mudah memunculkan figur-figur otoritas instan yang tidak memiliki legitimasi ilmiah, tetapi mendapatkan pengaruh besar melalui popularitas di media sosial. Akibatnya, terjadi polarisasi pemikiran, perdebatan emosional, serta penyebaran pandangan ekstrem yang mengabaikan tradisi ilmiah mazhab. Kondisi ini memperlihatkan pentingnya literasi keagamaan digital, yaitu kemampuan untuk membedakan sumber yang sahih dari yang menyesatkan, memahami metodologi mazhab, serta menjaga etika dalam diskusi keagamaan.
Identitas Muslim di era digital pun mengalami pergeseran bentuk. Identitas tersebut tidak lagi identik dengan satu kelompok atau praktik tertentu, melainkan berkembang menjadi identitas yang lebih hybrid. Umat Islam memadukan tradisi lokal, pendapat lintas mazhab, dan pemahaman berbasis data digital. Di satu sisi, hal ini memperkuat kesadaran bahwa Islam memiliki kekayaan intelektual yang luas. Di sisi lain, hal tersebut menuntut kedewasaan untuk memahami bahwa keragaman mazhab merupakan rahmat, bukan sumber konflik.
Untuk menghadapi perubahan besar ini, lembaga keagamaan, akademisi, dan para dai dituntut untuk beradaptasi. Konten keagamaan yang otoritatif harus disajikan dengan bahasa yang lebih komunikatif, akurat, dan relevan dengan persoalan kehidupan kontemporer. Selain itu, proses edukasi masyarakat mengenai metodologi mazhab perlu diperkuat agar ruang digital menjadi sarana pembelajaran, bukan medan pertentangan.
Era digital pada akhirnya bukan ancaman bagi mazhab maupun identitas Muslim, selama diiringi literasi, bimbingan ilmiah, dan sikap kritis. Justru melalui pemanfaatan ruang digital yang cerdas, umat Islam dapat membangun identitas keagamaan yang lebih inklusif, matang, dan responsif terhadap perubahan zaman.
