Pondok Pesantren Al-Ishlah di Desa Bungah, Gresik, Jawa Timur menjadi pesantren awal yang membentuk karakter santri dalam diri saya. Menjadi pijakan kenapa saya bertahan dengan barisan santri yang mengedepankan nilai-nilai egalitarian dalam menjalani ritme kehidupan, inklusif dan menghargai pluralitas, serta humanis kepada setiap orang tanpa memandang suku, agama, ras, dan etnis sekalipun.
Pondok Pesantren Al-Ishlah didirikan oleh KH Ahmad Maimun Adnan di sebuah desa bernama Bungah di Kabupaten Gresik. KH Ahmad Maimun Adnan (selanjutnya ditulis Mbah Buya) sangat keras kepada santrinya, lebih-lebih untuk melaksanakan salat berjamaah. Sebab, disiplin menjadi salah satu kunci untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil). Disiplin ditanamkan Mbah Buya khusunya dalam menjalakan aktivitas di pesantren seperti salat berjamaah, puasa Senin-Kamis, ta’dhim kepada kiai maupun dewan guru, serta muraja’ah pelajaran melaui metode sorogan maupun bandongan seperti di pesantren pada umumnya.
Wujud penanaman kedisiplinan salah satunya tergambar dalam pengajian bakda ashar diasuh langsung oleh Mbah Buya dengan kitab Mauidhotul Mu’minin. Melalui pengajian kitab ini, Mbah Buya mengenalkan akhlak kepada para santri untuk menghargai pluralitas. Sementara itu pada pengajian pagi, biasanya dimulai pukul 07.00 WIB, Mbah Buya mengampu pengajian kitab Ihya Ulumuddin. Pengajian ini dikhususkan bagi para ustadz, masyarakat umum, dan santri senior yang menjadi abdi ndalem Mbah Buya selama bertahun-tahun.
Saat saya nyantri di Pesantren Al-Ishlah, Mbah Buya selalu mengingkatkan para santri untuk terus belajar. Sesekali, Mbah Buya memberikan wejangan spiritual kepada para santri. Pesannya, ketika sudah terjun di masyarakat atau lembaga pendidikan, santri harus mengabdi dan terus berjuang. Tentunya, berjuang membawa masyarakat sekitar ke arah lebih baik dengan media ilmu yang sudah diserap selama nyantri di Pesantren Al-Ishlah.
Kepada para santrinya, Mbah Buya selalu menanamkan pendidikan moderat, baik dalam bertindak maupun berpikir. Saya kali pertama mendengarkan istilah moderat ketika Mbah Buya mendeskripsikan konsep moderat dengan sederhana. Seingat saya begini: “Kowe ojo dadi santri sing kagetan lan sesok kuwe kudu duwe prinsip ben ga montang manting ngalor ngidul.” (Kamu jangan jadi santri kagetan. Harus punya prinsip agar tidak terbawa arus).
Sesekali, Mbah Buya memberikan argumentasi epistemologis atas berdirinya pesantren. Itu tergambar dari visi-misinya, menjadikan Pondok Pesantren al Ishlah sebagai institusi pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dalam rangka tafaquh fi addin (center for excellence in teaching and education for all) dan tempat perjuangan fi sabilillah untuk meninggikan firman Tuhan.
Dalam perjalanannya, Mbah Buya dengan dibantu para gus dan ning, mengajarkan bagaimana menjadi santri yang ideal, yang tidak jumud dalam menyikapi perbedaan maupun dinamika zaman. Santri dengan tetap menjaga kesederhanaannya, didorong mampu untuk mengoptimalkan peran serta akses yang dimiliknya bagi kemajuan umat tanpa meninggalkan substansi dari nilai-nilai yang diajarkan dari pengajian Mauidhotul Mu’minin. Tidak jarang, Mbah Buya mendeskripsikan bagaimana peran santri menghadapi para penjajah maupun peran santri dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kalimat fauqo al ilmi al akhlak wa al adab harus dijadikan pegangan bagi santri menuntut ilmu. Saya baru paham adigium tersebut mengajari kita untuk tetap menjunjung tinggi akhlak dan adab kepada manusia secara umum, walaupun ilmu kita sudah melangit.
Misi ini selaras dengan yang diimplementasikan Kanjeng Nabi dalam menyebarkan misi dakwah Islam di Makkah. Betapa mulianya akhlak dan kepribadian Kanjeng Nabi dalam membentuk pola pikir masyarakat Arab. Oleh sebab itu, Mbah Buya pun mengedepankan pentingnya pendidikan akhlak dalam mendidik santrinya, yang dirumuskan menjadi panca jiwa, dan harus menjadi prinsip kolektif santri Al Islah.
Konsep nilai panca jiwa yang ditanamkan Mbah Buya ini meliputi, pertama, jiwa keikhlasan. Bagi saya dan teman-teman seangkatan, poin pertama sangatlah kuat efeknya karena Mbah Buya sendirilah yang mengajarkan secara teoretis-praksis tentang konsep ikhlas. Ikhlas menjalankan segala aktivitas santri selama di pesantren dengan menahan segala dorongan nafsu duniawi. Godaan untuk mengikuti arus modernitas era 2010 saat itu sangat deras bahkan tidak sedikit santri harus boyong hanya tergoda dengan nikmatnya lingkungan kota.
Kedua, jiwa kesederhanaan. Ketiga, jiwa kesanggupan menolong diri sendiri/berdikari. Keempat, jiwa ukhuwah Islamiyah dan Ukhwah Basyariyah. Kelima, jiwa bebas (bebas dalam berpikir, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif).
Dalam pada itu, eksistensi panca jiwa santri Al-Ishlah berjalan sinergis dengan prinsip metode pembelajaran yang menjadi lokus utama dewan guru dalam mengamalkan ilmu. Guru tidak hanya mengajar an sich sesuai spesifikasi keilmuan yang diperoleh. Tetapi, harus menanamkan suri tauladan serta memprioritaskan transfer of value kepada santri. Para dewan guru diberikan bekal oleh Mbah Buya dalam mengejewantahkan pendidikan yang mempunyai orientasi yakhsya Allah (takut kepada Allah), seperti yang diekspektasikan oleh KH Ahmad Thohawi Hadin, putra sekaligus pemangku Pesantren Al-Ishlah sekarang.
Beberapa prinsip yang diformulasikan oleh KH Ahmad Maimun Adnan adalah, pertama, mendidik dengan memberi contoh yang baik. Kedua, mendidik dengan cara membiasakan yang baik. Ketiga, mendidik dengan cara memberikan nasihat dan bimbingan. Keempat, mendidik dengan cara mengawasi. Kelima, mendidik dengan cara memberikan hukuman atas suatu kesalahan yang diperbuat.
Oleh karenanya, konsep pendidikan menjadi prioritas utama mengembangkan amanah suci dari Mbah Buya tanpa menegasikan proses yang dijalaninya. Tidak berlebihan jika saya katakan, pendidikan di Pesantren Al-Ishlah sebagai pendidikan karakter yang menekankan pada sisi kesederhanaan atau tentang pentingnya kesalehan sosial yang sejak lama diimpikan oleh Mbah Buya dalam pengajian maupun halaqoh ilmiahnya. Wallahu A’lam.