MBG vs Menu Makanan Pesantren

Kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) membuat banyak orang bertanya-tanya. Bukankah niatnya mulia—memberi gizi lebih baik untuk anak-anak sekolah? Tapi mengapa justru berulang kali menimbulkan masalah kesehatan, bahkan mengancam keselamatan?

Kalau kita bandingkan dengan pesantren, ada ironi menarik. Santri sejak lama makan dari dapur pondok yang sederhana. Menunya itu-itu saja, fasilitasnya seadanya, dan dana pengelolaannya pas-pasan. Tapi nyaris tidak pernah kita dengar ada kasus keracunan massal. Apa rahasianya? Jawabannya ada pada rantai makanan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di pondok, makanan dimasak lalu langsung disantap. Tidak ada waktu lama untuk menunggu atau dikirim jauh-jauh, dari dapur ke meja makan kemudian langsung dikonsumsi. Menunya pun sederhana: nasi, sayur, tahu, tempe, dan olahan sederhana lainnya. Bahan baku sering diperoleh langsung dari pasar lokal atau bahkan dari kebun sendiri, sehingga lebih segar. Meski tidak selalu memenuhi standar gizi formal, pola ini relatif aman dan cukup untuk menopang aktivitas santri sehari-hari.

Sementara di program MBG, makanan sering kali diproduksi secara massal, ribuan porsi, lalu didistribusikan ke banyak lokasi. Perjalanan ini butuh waktu, kadang berjam-jam, dan di situlah makanan bisa cepat rusak—apalagi jika mengandung lauk berprotein tinggi seperti ayam atau telur. Inilah yang membuka peluang pertumbuhan bakteri berbahaya seperti Salmonella atau E coli, yang bisa memicu keracunan massal.

Selain itu, pengelola dapur pondok biasanya adalah bagian dari komunitas. Ada rasa tanggung jawab moral terhadap santri. Sedangkan, dalam MBG, banyak vendor katering yang berbeda-beda. Motivasi mereka bisa jadi bukan tanggung jawab sosial, tapi sekadar mengejar efisiensi biaya untuk mendulang keuntungan. Di titik inilah kualitas dan kebersihan sering dikorbankan.

Walaupun makanan di pesantren sederhana dan tampak tidak bergizi, bahkan kadang dianggap tidak higenis, jarang sekali terjadi kasus keracunan makanan sebagaimana MBG. Padahal jika dipikir-pikir tradisi pesantren ini sedah berjalan sejak puluhan tahun lamanya, sedangkan MBG yang baru beberapa bulan saja memakan banyak korban secara massal.

Program MBG adalah gagasan mulia, tetapi pelaksanaannya harus realistis. Kita tidak bisa memaksakan standar gizi tinggi tanpa memastikan sistem pendukung yang aman. Jika tidak, niat baik bisa berubah menjadi bumerang.

Pesantren dengan dapur sederhana telah membuktikan bahwa memberi makan ribuan orang bisa dilakukan dengan aman, asalkan rantai distribusi pendek, menunya sederhana, dan pengelolanya memiliki rasa tanggung jawab. Dari sinilah seharusnya MBG belajar: bahwa keberhasilan program besar bukan hanya soal dana dan angka gizi, tetapi soal kedekatan, kesederhanaan, dan integritas dalam pengelolaan makanan.

Kadang, solusi terbaik justru ada pada hal-hal sederhana yang sudah terbukti bertahan puluhan tahun.

Sumber foto: pesantren darunnajah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan