Sebagaimana pantai, membaca karya Aquarina yang satu ini imaji pembaca akan terbawa arus ke dasar ingatan tentang kota-kota di Jawa yang modern, eksostis, dan berperadaban, dengan langitnya yang biru dan orang-orangnya yang bersemangat merayakan kehidupan, ini adalah jalinan kisah tentang takdir. Takdir yang diperjuangkan. Demi mimpi dan cita-cita. Menjadi pencinta, menjadi manusia.
Lantas apa yang hendak disampaikan Aquarina dalam karyanya? Resensi berikut tentu sangat subjektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, ada hal paling seksi yang akan dijumpai oleh mereka yang rela meluangkan waktu untuk membaca buku yang berhalaman 335 ini, yakni tentang religiusitas, skeptisisme, humanisme, ateisme, Tuhan, dan segala apa yang kita kira “Tuhan” selama ini.
Tentu setiap manusia memiliki fase yang beragam dalam perjalanan keberagamaannya yang dapat menguras energi batin serta pikiran untuk meneguhkan keyakinan terhadap Tuhan yang dicipta, dicinta, dan dicita-citakan. Sosok Sakinah dan Mita dalam novel Hingga Pantai Seberang ini merupakan representasi perempuan cerdas yang berani mendeskripsikan Tuhan secara kritis atas sudut pandang masyarakat terhadap (konsep) Tuhan selama ini.
Maka, jangan heran bila seorang filsuf asal Britania Raya, Bertrand Russell pernah mengungkapkan kegelisahannya tentang (konsep) Tuhan dengan kalimat nyentriknya, “Bila saya ke neraka karena tidak percaya Tiuhan, nanti saya hanya akan bilang, Tuhan tidak memberi saya cukup bukti di dunia untuk membuat saya percaya.” Sebab, pada dasarnya (konsep) Tuhan akan senantiasa mengalami pembaruan di kedalaman batin dan akal seseorang seiring bertambahnya pengalaman, pengamalan, dan wawasan.
Tuhan tak pernah final, Dia selalu hidup dan menghidupkan segala yang tampak dan tak tampak seperti definisi, konsep, asumsi, persepsi tentang-Nya pula karena akal yang mengkonstruksi ‘Tuhan’ itu sendiri merupakan percikan logos, akal Ilahi. Konsep Tuhan yang demikian tergambarkan dalam percakapan Sakinah saat menjawab pertanyaan Fifi tentang kematian Tuhan, “Tuhan hanyalah konsep-konsep yang selama ribuan tahun berusaha dikonstruksi oleh manusia. Ketika zaman berganti dan suatu konsep tentang Tuhan tak lagi sejalan dengan zaman, maka ‘Tuhan’ pun mati diganti dengan konsep yang baru” (hlm. 140).
Entah, keraguan akan adanya Tuhan itu akan kita nilai dan pertimbangkan sebagai apa dalam fase keberagamaan seseorang? Bapak agama-agama samawi pun, Nabi Ibrahim pernah dilanda kegelisahan yang demikian sebelum mengenal Tuhan Sejati.
Sebab pada akhirnya, cara seorang mengenal Tuhan akan berpengaruh besar terhadap cara mereka beragama di kemudian hari. Bila Tuhan hanya diyakini sebagai satu-satunya Yang Maha Angkuh maka tak heran bila agama hanya memproduksi peperangan dan melahirkan kaum beragama yang gemar saling menyerang satu sama lain atas nama aksi bela Islam dan bela Tuhan.
Contoh kasusnya yang terjadi dalam novel Hingga Pantai Seberang ini, yakni adanya kelompok ormas yang menyerang Sakinah Institute sambil berseru Allahu Akbar! karena dinilai telah mengajarkan kesesatan.
Padahal, tempat tersebut rutin mengadakan pengajian dan salat berjamaah bagi kalangan kaum waria dan marjinal lainya. Apakah Tuhan memang cukup tega enggan menerima amal dari para hambanya yang berbeda kasta dan kelamin sebagaimana yang diperjuangkan orang-orang ormas tersebut? Sedangkan Sakinah, pemimpin Sakinah Institute, seorang aktivis perempuan berpendidikan alumni Mesir itu berkeyakinan bahwa jalan ketuhanan itu bernama kemanusiaan. Dan agama bukan masalah bila ia adalah kesalehan pribadi. Agama adalah masalah bila ia adalah kekuasaan (hlm. 153).
Lantas terjadinya tindak kekerasan, brutalitas, dan kekejaman yang mengatasnamakan agama (kepentingan kelompok untuk berkuasa) kerap melahirkan asumsi negatif tentang agama itu sendiri. Agama yang seharusnya menjaga dan melindungi marwah kemanusiaan justru terkesan hadir sebagai penghancur dan pengobrak-abrik kemanusiaan. Bukankah diperintahkannya salat dalam Islam yang menjadi tiang dan ritual utama agama supaya manusia mampu mengendalikan diri dari tindak kejahatan dan kekejian, bukan? Benarkah agama memang bertentanggan dengan kemanusiaan?
Mita, perempuan bengal itu memiliki cara pandang yang berbeda tentang Tuhan dan agama. Di dalam kebudayaan yang feodalistik, Tuhan sering dipersepsikan sebagai Tuan Tanah yang berkuasa, absolut, otoriter dan manusia sebagai budak harus takut, tunduk, dan bahkan kadang menjilat supaya Dia senang dan kita hidup aman. Doktrin akan semangat jihad dan hadiah surga yang kerap disalahpahami oleh kaum beragama barangkali layak kita sebut sebagai upaya mereka menjilat Tuhan sambil lalu diludahi tanpa sadar Wajah Tuhan itu oleh mereka karena telah menyakiti sesama bahkan membunuh sesama. Bagi Mita sudut pandang Tuhan Feodal yang demikian sangatlah berbahaya dalam tatanan keberagamaan dan kemanusiaan kita.
Baik Sakinah maupun Mita, keduanya sama-sama berangkat dari dasar konsepsi teologi yang lebih humanis, di mana agama tidak untuk dipertentangkan dengan kemanusiaan, maupun Tuhan versus manusia. Dengan demikian, ide tentang Tuhan dan agama tak lagi menjadi jurang pemisah antara manusia dengan manusia lainnya, pun tak akan membuat manusia lupa akan dirinya sendiri. Sebab tujuan diterapkannya syariat, norma-norma dalam agama itu sendiri jelas untuk kemaslahatan di antara umat. Maka, mereka yang mengaku beragama harus tetap konsisten berdiri kokoh di atas perlindungan hak dasar manusia yang meliputi; perlindungan agama (hifdz al-din), perlindungan jiwa (hifdz al-nafs), perlindungan akal (hifdz al-‘aql), perlindungan keturunan (hifdz al-nasl) dan perlindungan harta (hifdz al-maal), yang dalam Islam hak-hak tersebut dikenal dengan kulliyatul khams.
Setelah memahami sudut pandang yang lebih humanis tentang Tuhan dan agama dalam novel Hingga Pantai Seberang tersebut semoga masing-masing kita mampu beragama dengan penuh cinta dan riang gembira. Amin, wallahu a’lam bishawab.
Data Buku
Judul Buku : Hingga Pantai Seberang
Penulis : Aquarina Kharisma Sari
Penerbit : Jejak Publishing
Cetakan : Januari 2018
Tebal Buku : 335 Halaman