Telah lama sebagian kalangan muslim mendoktrin perempuan berada di bawah posisi laki-laki, sebab laki-laki diberi kualifikasi lebih unggul dibanding perempuan. Peran perempuan hanya terbatas ruang domestik dan tidak boleh aktif di ruang publik, sebab khawatir menimbulkan fitnah. Begitupula kewajiban istri yang tunduk kepada suami. Sebagaimana dapat dibaca pada fatwa ulama yang telah dijelaskan di banyak kitab kuning, yang menjadi pegangan orang-orang pesantren. Hal itulah yang kemudian melahirkan sebuah pertanyaan: apakah agama Islam melakukan marginalisasi terhadap kaum perempuan?
Fenomena tersebut menggerakkan KH Husein Muhammad untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan dengan gagasannya melalui buku ini. Selama ini kitab klasik yang menjadi rujukan utama dalam membentuk nilai, norma, dan budaya pesantren ternyata sangat mensubordinasi kaum perempuan.
Misalnya, laki-laki memiliki kekuasaan menceraikan istri, sedangkan istri hanya boleh mengajukan gugatan cerai; laki-laki berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai yang dinikahi. Atas dasar itulah sebagai kiai sekaligus aktivis, Kiai Husein menggagas wacana tandingan dengan basis keilmuan dalam pesantren demi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
Salah satu akar permasalahan dari ketimpangan gender tersebut ialah kekeliruan dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan. Dalam buku ini, Kiai Husein Muhammad menjelaskan secara detail definisi serta relasi antara tauhid, syariat, fikih, dan fiqh perempuan. Menurutnya, pesan-pesan tauhid dalam Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kondisi budaya pada suatu zaman yang mengusung visi dan misi yang sama, yakni kesetaraan dan keadilan untuk seluruh manusia (hlm 98).
Teks-teks Al-Qur’an dan hadis telah mengalami transformasi metodologis tanpa menghilangkan aspek-aspek logika rasional. Dalam pendirian Kiai Husein Muhammad, hal tersebut merupakan peluang yang luas untuk upaya transformasi lebih lanjut, sejalan dengan perubahan kultural dan sosial yang menyertai. Dengan demikian, Kiai Husein menyeru pembaca agar tidak menafsirkan teks-teks agama dengan pemahaman masa lalu. Harus sesuai dengan konteks kontemporer dan berlandaskan pada prinsip-prinsip tauhid.
Salah satu contohnya, dalam surah An-Nisa ayat 34: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” Ayat ini ditafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, penanggung jawab, dan pendidik atas kaum perempuan. Ayat ini kemudian dijadikan legitimasi utama superioritas laki-laki atas perempuan.
Namun, ada beberapa aspek yang perlu dianalisis. Ayat tersebut turun berdasarkan kondisi sosial bangsa Arab yang kala itu kepemimpinannya bersifat sentralistik dan tiranik. Dan pertimbangan mendasar dalam kepemimpian adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal itu saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan (hlm 146).
Kiai Husein juga menjelaskan beragam permasalahan kaum perempuan seperti jihad, “fitnah” perempuan, jilbab, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak reproduksi, aborsi, dan hal-hal privat lainnya. Gagasan-gagasannya kerap dinilai berbeda dengan kacamata ulama fikih konservatif, namun tetap berlandaskan pada Al-Qur’an, hadis-hadis shahih, dan pendirian ulama ahli fikih yang menurutnya sesuai dengan keadilan qur’ani.
Salah satu contoh argumentasi yang dikemukakan dalam buku ini adalah mengenai jilbab. Dijelaskan bahwa jilbab merupakan ciri pembeda antara perempuan budak dan perempuan merdeka. Karena, zaman sekarang perempuan budak tidak lagi dijumpai, maka pemakaiannya bukan hal yang wajib dan pelarangan penggunaannya pun harus ditentang (hlm 221).
Gagasannya mengenai hak reproduksi perempuan juga cukup jelas, bahwa relasi seksual suami-istri adalah relasi kemitraan dan bukan kekuasaan. Perempuan punya hak yang sama dengan hak laki-laki. Istri berhak menolak sang suami apabila ia merasa dizalimi oleh suamniya. Dan ia harus mengungkapkan keberatannya, dan suami pun juga seharusnya mendengarkan dan mempertimbangkannya (hlm 322).
Sikap pembelaan Kiai Husein terhadap perempuan juga diwujudkan dengan mendorong para perempuan untuk berkecimpung di beberapa organisasi sosial politik, seperti organisasi Amal Hayati Cirebon, Fahmina Institute, dan KPPI Cirebon. Upaya refleksi sebagai aktivis turut dituangkannya dalam buku ini. Perihal akar permasalahan dari sudut pandang agama, pencarian solusi untuk masalah-masalah kemasyarakatan, serta fikih emansipatoris sebagai landasan bagi gerakan tersebut (hlm 352).
Kendati demikian, gagasan Kiai Husein Muhammad tidak luput dari kritik banyak pihak, terutama sebagian dari kiai pesantren. Penolakan tersebut diungkapkan oleh salah satu kiai sepuh di Cirebon dan beberapa kiai muda yang menganggap bahwa gagasan Kiai Husein mengada-ada dan melanggar norma agama. Namun, semangat Kiai Husein dalam bergerak memberikan gagasan-gagasan bagi gerakan feminisme di Indonesia tetap menyala.
Maka tidak benar adanya jika Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dalam praktiknya melakukan marginalisasi atau subordinasi terhadap siapa pun, khususnya perempuan. Wacana-wacana keagamaan masih sering ditafsirkan secara konservatif hingga menyebabkan ketimpangan dan pemahaman yang bias. Oleh karena itu, menafsir dan menilai ulang atau mendekonstruksi terhadap tafsir-tafsir dan pemahaman keislaman yang bias gender sangat penting dilakukan.
Data Buku
Judul Buku: Islam Agama Ramah Perempuan
Penulis: K.H Husein Muhammad
Penerbit: IRCiSoD
Tahun Terbit: Januari 2021
Jumlah Halaman: 396 halaman
ISBN: 978-623-6699-19-5