Memaknai Ibadah dalam Kehidupan Sehari-hari

1,493 views

Judul Buku             : Tidak di Kabah, di Vatikan, atau di Tembok Ratapan: Tuhan Ada di Hatimu

Penulis                    : Husein Jafar Al-Hadar

Advertisements

Penerbit                  : Noura Book Publishing

Tanggal terbit         : Juli  2020

Jumlah Halaman    : 250

 

Suatu hari seorang sahabat melihat khalifah keempat ini sedang salat dengan khusuk. Ada kesan Sayidina Ali seakan-akan sedang berdiri di hadapan maharaja dan tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang juga beribadah di masjid. Sahabat itu keheranan dan bertanya selepas Sayyidina Ali merampungkan salatnya.

“Ya Ali, apakah engkau melihat Tuhanmu di kala engkau beribadah?”

“Aku tidak  menyembah Tuhan yang tidak aku lihat,” kata Sayyidina Ali.

Keheranan sang sahabat bertambah dengan jawaban itu. Dia pun kembali bertanya, “Bagaimana engkau bisa melihat Tuhan?”

“Allah SWT tidak dilihat oleh mata atau di arah tertentu,” kata Ali. Dia diam sebentar sebelum melanjutkan penjelasannya. “Melainkan dengan hati dan ada di semua arah”.

Tuhan ada di hatimu. Pernyataan tersebut adalah sebuah metafora. Metafora ini hanya untuk menggambarkan bahwa sejatinya hati kita harus selalu ingat Tuhan. Jika hati kita sudah diisi Tuhan, kita tersadar bahwa semua yang kita lakukan dengan rahmat-Nya. Perlu diingat bahwa segala sesuatu juga harus diniatkan untuk ibadah yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar menjadi amal kita.

Banyak masyarakat awam sekarang salah kaprah dalam memaknai beribadah. Mereka memaknai beribadah harus berupa aktivitas fisik yang kaku. Seharusnya, manusia yang beriman menghadap ke mana pun, kita melihat kebesaran Allah yang membuat kita selalu ingat kepada-Nya. Bukan hanya di Kabah, tapi juga di gubuk-gubuk orang miskin, di rumah-rumah yatim, bahkan di lembaga pemasyarakatan. Masjid bisa roboh, Kabah bisa sepi, tapi hati manusia yang beriman akan abadi dalam ketaatan dan kecintaan pada-Nya.

Ada dua jenis ibadah yang harus diperintahkan Allah SWT. Ibadah yang pertama adalah ibadah ubudiyah. Ibadah tersebut terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah Allah, misalnya salat, haji, dan puasa . Ibadah ubudiyah dikenal juga ibadah Hablumminallah.

Ibadah yang kedua adalah yang berkaitan dengan muamalah kepada manusia dan makhluk Allah, misalnya sedekah, utang-piutang, pinjam-meminjam, dan zakat. Ibadah mualamalah dikenal juga dengan ibadah Hablumminannas. Kedua ibadah tersebut tidak berdiri sendiri. Indikator adanya iman dan takwa yang kuat kepada Allah SWT pada masa Rasulullah SAW yaitu terciptanya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia).

Dewasa ini, masyarakat pada umumnya hanya terfokus kepada ibadah ubudiyah yang sebatas formalitas. Hal itu mengakibatkan masyarakat awam terjebak pada simbol agama, hitungan ekonomi–untung-rugi, bidah-sunah, pahala-dosa, dan sebagainya. Mereka hanya menawarkan dua warna: hitam atau putih.

Habib Husein berusaha melepas bias jebakan itu. Sebab, yang dilihat sebagai hitam atau putih barangkali hanya bungkus belaka. Ia mengajak pembaca agar tak berhenti pada yang tampak oleh mata. Karena, proses berpikir dengan akal dan batin yang tak tampak justru menjadikan kita jernih.

Buku ini akan membawa kita masuk dalam petualangan rohani untuk menemukan Sang Pencipta yang berdiam di dalam kita. Bahasa yang digunakan dalam buku ini lugas dan komunikatif sehingga cocok dibaca untuk semua orang.

Husein Jafar Al-Hadar, Lahir di Bondowoso, Jawa Timur, pada 21 Juni 1988. Dari pengalamannya, tidak diragukan lagi, Husein aktif sebagai penulis sejak di bangku kuliah, membuat tulisannya tersebar di berbagai media massa terkenal Indonesia. Sehingga penulis rasa, Habib satu ini memang tidak bisa diragukan dari segi keilmuannya. Habib Husein sempat menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Bangil, Jawa Timur. Selain itu, Beliau juga menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar Sarjana Filafat Islam (S.Fil.I). Beliau kemudian melanjutkan program master Tafsir Hadits di universitas yang sama.

Hal ini meyakinkan bahwa Habib Husain adalah sosok cendekiawan Islam yang tekun dalam tafaqquh fid diin (mendalami ilmu agama) dengan rentang waktu yang cukup lama. Narasi-narasi yang ia sampaikan kental akan nilai-nilai keislaman dan keagamaan.

Media sosial menjadi salah satu media yang dipilihnya karena melihat masyarakat menghendaki keberislaman secara instan, dengan dalih ingin berhijrah. Sehingga kebiasaan masyarakat saat ini, mereka ingin mengetahui Islam, namun tidak mau nyantri, belajar kitab, dan belajar bahasa arab. Sehingga keberislaman seperti inilah yang dirasa tidak sehat, dan dikhawatirkan Habib tidak akan komprehensif dan holistik sampai ke akarnya. Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi untuk berdakwah untuk menyebarkan Islam yang kaffah.

Beliau mengambil langkah di media digital sejak dulu karena sering menulis di berbagai platform media massa. Habib Husein hanya konsen di kepenulisan. Ide-ide karyanya berangkat dari keresahan Habib, yang melihat media sosial  saat ini yang hanya diisi oleh konten negatif, ujaran kebencian, serta berita hoaks, lalu mendorongnya untuk tampil di depan layar.

Beliau juga berdakwah melalui channel YouTube: Jeda Nulis. Sekarang Jeda Nulis sudah di-subscribe lebih dari 200 ribu orang. Beliau juga keliling Indonesia, baik sendiri untuk memenuhi undangan dakwah, maupun bareng Coki, Muslim, dan Pendeta Yerry Pattinasarany untuk berdakwah toleransi dalam satu program yang dinamai Deep Talk. Habib Husein bisa diajak berdiskusi di Instagramnya @Husein_Hadar dan Twitternya @Husen_Jafar. Di media sosial tersebut Habib Husein juga berbinis dengan berjualan kaus yang diisi dengan desain quote-quote-nya yang bisa didapat di Instagram @JedaNulisStore.

Dari pengalaman berdakwahnya, Habib Husain memang tidak diragukan lagi. Pengikutnya di media sosial telah membuktikan bahwa karyanya memang mendapatkan apresiasi positif dari warga net. Dari pengalaman berdakwah dan pengamatan di media sosial, Habib Husein menulis Buku Tidak di Kabah, di Vatikan, atau di Tembok Ratapan: Tuhan Ada di Hatimu. Buku ini berisi nasihat cara menjadi muslim kaffah sesuai dengan syariat Islam. Buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan karena penulis memilih diksi yang ringan-ringan sehingga mudah dipahami.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan