Nahdliyin bukanlah entitas tunggal. Ia berwajah banyak. Ia bersegi banyak. Terkesan ada self-contradiciton, memang. Meskipun berpegang pada tradisi tawaduk dan sami’na wa ato’na terhadap kiai sebagai figur sentral, namun di dalam diri nahdliyin tetap terkandung keragaman, lebih-lebih kalau hanya soal preferensi dan pilihan-pilihan politik.
Karena itu, jika ada partai politik atau kekuatan politik tertentu mengklaim telah menguasai atau memperoleh dukungan suara mayoritas dari nahdliyin atau jemaah Nahdlatul Ulama (NU), dipastikan mereka akan kecele. Sebab, fakta-fakta historis menunjukkan suara kaum nahdliyin tak pernah bisa ditampung hanya dalam satu baskom politik. Ia selalu tersebar di hampir semua partai politik.
Kita bisa membandingkan antara data-data jumlah nahdliyin dengan perolehan suara partai politik NU atau yang diklaim berafiliasi atau didukung oleh NU. Dalam sejarah Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) pertama dilaksanakan pada 1955. Saat itu, NU telah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri, Partai NU, sebagai peserta Pemilu.
Pada Pemilu 1955 itu, yang keluar sebagai pemenang adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan raihan suara 22,32 persen. Di urutan kedua dan ketiga adalah Masyumi dengan 7.903.886 suara (20,92 persen) dan NU dengan 6.955.141 suara (18,41 persen). Meskipun Partai NU masuk tiga besar, data itu menunjukkan bahwa tidak semua warga NU memberikan suaranya kepada Partai NU. Suara nahdliyin tersebar di mana-mana, termasuk ke PNI dan Masyumi atau partai-partai lain. Sebab, jika seluruh nahdliyin memberikan suaranya ke Partai NU, ia akan keluar sebagai pemenang dengan raihan suara antara 30-40 persen. Asumsinya, saat itu 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim, dan lebih dari separo populasi muslim Indonesia adalah nadhliyin atau berafiliasi ke NU.
One Reply to “Membaca Arah Suara Nahdliyin”