Membaca Kembali “Guruku Orang-orang Pesantren”

Di tangan KH Saifudin Zuhri, pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama. Ia menjadi dapur peradaban bangsa, tempat ditempanya karakter, adab, dan semangat pengabdian.

Buku Guruku Orang-orang Pesantren, pertama kali terbit tahun 1974 lewat penerbit Al-Ma’arif Bandung, kemudian diterbitkan kembali oleh LKiS pada 2001. Buku ini merupakan potret keikhlasan para guru dan keteguhan para santri yang menjadikan pesantren sebagai benteng moral Indonesia.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sebagai otobiografi, buku ini menuturkan perjalanan seorang santri dari Banyumas yang tumbuh dalam kesederhanaan, menimba ilmu dari guru-guru kampung, hingga menjadi ulama, wartawan, dan menteri agama.

Tapi yang membuat buku ini hidup bukan perjalanan kariernya, melainkan cara Saifudin Zuhri menulis dengan nada syukur dan kerendahan hati. Ia menatap masa lalunya bukan dengan kebanggaan, melainkan dengan rasa terima kasih kepada para guru yang membentuknya.

Sekolah Kehidupan

“Madrasahku cuma langgar.” Kalimat pendek ini, yang ditulis Saifudin Zuhri, menjadi inti seluruh kisahnya. Ia belajar di surau bambu beratap rumbia, tanpa kursi dan papan tulis, tapi dengan tekad yang tak mengenal lelah. Di sinilah filosofi pendidikan pesantren menemukan bentuknya: kesungguhan menggantikan fasilitas, ketulusan menggantikan sistem.

Guru-gurunya adalah orang-orang sederhana yang mengajar bukan karena jabatan, tetapi karena panggilan jiwa. Mereka bukan hanya pengajar, melainkan teladan. Dari merekalah Saifudin Zuhri memahami bahwa ilmu sejati bukan yang ditulis di buku, melainkan yang tertanam dalam hati dan diwujudkan dalam laku.

Pesantren, dalam gambaran Zuhri, adalah sekolah kehidupan, tempat manusia belajar menundukkan ego sebelum menaklukkan dunia. Dalam bahasa hari ini, ia seperti sedang menegur kita: pendidikan sejati tidak diukur dari ijazah, tetapi dari kejujuran dan pengabdian.

Semangat Kebangsaan

Buku ini juga menegaskan sesuatu yang sering dilupakan: bahwa pesantren adalah benteng kebangsaan. Di masa penjajahan, para santri bukan hanya mempelajari fikih dan tauhid, tetapi juga menumbuhkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.

Saifudin Zuhri menulis dari pengalaman hidupnya sendiri, ketika para kiai dan santri ikut menggerakkan perjuangan kemerdekaan. Ia menyaksikan bahwa keislaman dan keindonesiaan tidak bertentangan. Justru dari rahim pesantren lahir semangat cinta tanah air yang berakar pada iman.

Bagi Zuhri, nasionalisme bukan ide impor, tapi buah dari keyakinan bahwa menjaga negeri adalah bagian dari ibadah. Pandangan ini terasa relevan hari ini, ketika sebagian orang masih mempertentangkan agama dan negara. Pesantren telah lebih dulu membuktikan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari cinta kepada Tuhan.

Menguji Romantisme Santri

Namun membaca Guruku Orang-orang Pesantren tanpa jarak kritis bisa menimbulkan romantisme. Cinta Zuhri pada pesantren begitu dalam, sampai kadang menutupi sisi gelap dunia pendidikan. Pertanyaannya: apakah pesantren masa kini masih seideal yang digambarkan?

Pesantren hari ini berhadapan dengan arus modernisasi yang cepat. Banyak yang bertransformasi menjadi lembaga formal dengan kurikulum modern dan fasilitas lengkap. Perubahan ini tentu tak salah, tetapi kadang membuat pesantren kehilangan ruhnya: keintiman antara guru dan murid, ketulusan dalam mencari ilmu, dan keikhlasan dalam mengajar.

Dalam konteks itu, buku ini bukan hanya nostalgia, melainkan cermin. Ia mengajak kita melihat apakah nilai-nilai keikhlasan dan pengabdian masih hidup di balik megahnya gedung dan administrasi modern. Apakah semangat “madrasahku cuma langgar” masih terasa di tengah logika efisiensi dan sertifikasi?

Krisis Adab Digital

Kita hidup di era ketika guru bisa digantikan algoritma, dan santri bisa mencari fatwa lewat mesin pencari. Tapi yang hilang dari pendidikan modern adalah sesuatu yang justru menjadi inti buku ini: adab.

Bagi Saifudin Zuhri, inti pendidikan adalah cara menghormati ilmu, guru, dan kehidupan. Pesantren adalah laboratorium etika—tempat manusia belajar menata hati sebelum mengutip ayat. Di dunia digital yang serba cepat, pesantren mengingatkan bahwa belajar bukan soal kecepatan, melainkan kedalaman.

Ia menulis di masa ketika “mengaji” berarti menunggu, mendengarkan, dan menyalin. Kini, kita hidup di zaman “geser layar, pindah guru.” Di sinilah nilai-nilai adab yang diajarkan Zuhri terasa mendesak: bahwa ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kepintaran tanpa kebijaksanaan.

Rumah Kemanusiaan

Yang menarik, Saifudin Zuhri tidak menulis pesantren sebagai institusi agama yang eksklusif, tapi sebagai rumah kemanusiaan. Dalam kisahnya, pesantren selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar. Ia percaya, tugas pesantren bukan mencetak ahli fikih semata, tetapi manusia yang berjiwa jernih.

Maka, Guruku Orang-orang Pesantren bukan sekadar biografi ulama, melainkan refleksi kemanusiaan. Ia menulis bukan untuk memuja masa lalu, tapi untuk mengingatkan bahwa masa depan bangsa bergantung pada karakter para pencari ilmu hari ini.

Pelajaran dari Masa Lalu

Buku ini adalah surat cinta seorang santri kepada guru-gurunya, dan pengingat bagi kita bahwa pendidikan sejati selalu berakar pada rasa hormat. Di tengah dunia yang sibuk mengejar gelar, Guruku Orang-rang Pesantren mengajak kita kembali belajar tentang makna guru, murid, dan perjalanan menjadi manusia.

Saifudin Zuhri menulis kisah hidupnya dengan bahasa sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan api moral: bahwa bangsa ini bisa tegak karena ada orang-orang pesantren yang berjuang dalam diam, dengan ilmu dan keikhlasan.

Buku ini meneguhkan keyakinan lama yang masih relevan hari ini: pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi sumber mata air nilai yang membuat Indonesia tetap punya arah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan