Beberapa waktu lalu, saya, oleh seorang temak karib diajak mengikuti sebuah kajian yang diadakan komunitas pemuda. Komunitas ini memfokuskan diri pada kajian-kajian atau diskusi-diskusi di bidang keislaman. Mulai dari kajian Islam klasik hingga kontemporer. Juga kajiannya bersifat tematik dengan disesuaikan perkembangan zaman.
Yang menarik, pada waktu saya mengikuti kajian tersebut, kebetulan pokok pembahasannya adalah tentang Islam Nusantara. Memang, seperti diketahui bersama bahwa beberapa tahun terakhir Islam Nusantara menjadi pembahasan dan kajian yang cukup populer dan menarik. Bukan hanya di kalangan para intelektual, akademisi, dan aktivis, melainkan juga di kalangan masyarakat umum. Ini dikarenakan kehadiran Islam Nusantara dinilai mampu menjadi alternatif keberislaman di Indonesia, yang notabene masyarakatnya adalah plural dan multikultural.
Di tengah berlangsungnya diskusi tentang Islam Nusantara, saya mengikutinya secara bersungguh-sungguh dan khidmat. Wajar, sebagai seorang mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang “berhaluan” Nahdlatul Ulama (NU), tentu saja, saya antusias. Namun demikian, ketika nara sumber telah usai menjelaskan panjang lebar ihwal Islam Nusantara, ada salah satu peserta diskusi menyodorkan argumen, yang bagi saya cukup menggelitik.
Menurutnya, Islam Nusantara adalah ajaran Islam baru, ajaran yang tidak sesuai dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Karena itu, bagi dia, Islam Nusantara merupakan bidah dan ajaran Islam yang diada-adakan. Sehingga tidak layak untuk diadopsi apalagi diterapkan.
Seketika, saya, sontak mendengar argumen yang dilontarkan salah seorang peserta diskusi tersebut. Sebagai mantan aktivis yang berhaluan NU, tentu saja, saya tak langsung mempercayai hal ihwalnya. Kemudian dalam benak terbesit sepintas, benarkah Islam Nusantara bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi? Atau, Islam Nusantara merupakan ajaran baru sebagaimana yang dipahami salah satu peserta diskusi tersebut?
Maka dari itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait Islam Nusantara sebagaimana yang disebutkan di atas; perlu kiranya kita mengetahui apa dan bagaimana Islam Nusantara.
Gagasan Islam Nusantara
Saya tidak apatis terhadap gagasan Islam Nusantara, karena, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Abd A’la Basyir, bahwa Islam Nusantara adalah sebuah ijtihad menuju sebuah kebermaknaan (Ijtihad Islam Nusantara). Namun perlu dipahami bahwa Islam lahir sebagai rahmatan lil’alamin, kasih sayang seluruh alam tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, kawasan, dan lain sebagainya. Artinya, kemurnian Islam harus menjadi prioritas tanpa dibatasi oleh semangat kultural dan kewilayahan. Jika ini dipahami sebagai sebuah ukhuwah islamiyah, maka tidak akan terjadi dikhotomi keakuan maupun kenusantaraan.
Menjaga sikap persatuan dalam keislaman akan lebih bermakna daripada lahirnya Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam Indonesia, Islam Sumatera, dan Islam-Islam lainnya. (Maaf, ini hanya pandangan saya pribadi tidak ada kaitannya dengan kelompok tertentu. Saya mohon sapora atas perbedaan ini)