MEMBALAS SURAT TUHAN
O, Tuhan
aku telah belajar membaca
batas diriku, hingga ke penjuru arah
meski hatiku kerap tersandung
batu dan kata-kata.
Jika pagi dan sore tiba
aku sering mendengar anak-anak tetangga
bersumpah saling berdebat tentang warna
pelangi di langit atau senja di ujung sawah
bila malam tiba mereka duduk di beranda
meneriaki rasi bintang dan bulan
yang menggoda.
Padahal segalanya berwarna hitam
Benar, kan, Tuhan?
O, Tuhan
bersama musim dan cuaca
yang berubah-ubah aku mulai belajar
menulis dan meraba kata-kata
yang dibawa embus angin di udara
setelah aku bisa nanti
akan kubalas 114 surat-Mu
agar Kau tahu kabarku di dunia
yang semakin buta.
Tulungagung, 2020.
MUASAL IRI
: untuk Rizky N
Setiap hari
pagi dan matahari
ia nyalakan sendiri.
Bila datang
malam dan rembulan
ia hidupkan terang:
sebuah gelombang tenang.
Di dalam hatinya
sunyi, penuh rahasia
di luar wajahnya
ramai, penuh bungah.
Tulungagung, 2021.
SIMPANG JALAN
Lagi-lagi hujan jatuh mendaras lagu-lagu
padahal lelaki itu mengambil waktu
lebih awal, agar terhindar dari kenangan
yang menggenang di pinggir jalanan.
Hujan semakin deras
tak bercelah, rapat, dan keras
meski lelaki itu sudah memakai helm
mantel dan sepatu dadanya tetap kuyup
suara tangis orang tuanya waktu ia berpisah.
Di simpang jalan lelaki itu memutuskan
istirahat, ia bakar sebatang tembakau dan waktu
supaya api dalam hatinya tetap menyala.
Tulungagung, 2020.
JAM DINDING (1)
Jam dinding mati
Di bawahnya seekor luing
Merambat
Menggantikan waktu
Mengikuti
Munajat Kiai
Sambil menghitung
Kakinya sendiri
Tulungagung, 2021.
JAM DINDING (2)
Sorot lampu
Memenuhi surau
Jam dinding
Kembali berdetak
Seekor cecak
Mengintip dingin
Kepadaku dan kami
Yang mendekap ingin
“Aaamiin…aaamiin”
Kulihat ia merinding
Dan memeluk angin
Tulungagung, 2021.