Membincang Tradisi Halal Bihalal

36 views

Hari lebaran tahun ini, Hari Raya Idul Fitri 1442 H, yang jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021, menyisakan kegembiraan setelah satu bulan penuh berjuang untuk menahan nafsu. Menahan diri dari lapar dan haus beserta hal-hal yang membatalkan pahala puasa lainnya, merupakan bentuk pengabdian dan penghambaan kepada Allah. Momen Idul Fitri seringkali dijadikan kesempatan untuk berkunjung, membangun ikatan tali silaturrahmi, bermaaf-maafan, ziarah kubur, dan lain sebaginya.

Salah satu tradisi dan kebiasaan yang dapat dilakukan dalam situasi “kemenangan ini adalah halal bihalal. Sebuah budaya hari raya, khususnya Idul Fitri, yang diselenggarakan baik oleh perorangan, instansi pemerintah, maupun oleh lembaga keagamaan. Tradisi ini begitu kuat mengakar di kalangan umat Islam, sehingga pelaksanaan halal bihalal meskipun dengan cara yang sangat sederhana, bahkan hanya dilakukan dengan saling berjabat tangan, kebiasaan ini selalu diselenggarakan.

Advertisements

Di lembaga pendidikan, misalnya, sekembalinya mereka ke sekolah, setelah sekian hari libur, umumnya diadakan maaf-maafan dan salam-salaman. Apalagi di lembaga pesantren, halal bihalal selalu dijadikan acara tahunan di saat momen hari lebaran. Para santri —setelah kembali dari libur pondok bagi yang berlibur— berbondong-bondong untuk berhalal bihalal dengan para pengasuh dan juga para sahabat, handai tolan teman-teman santri, meski hanya dengan saling berjabat tangan, dan mengungkapkan “Minal ‘aidin wal faizin; mohon maaf lahir dan batin”.

Sejarah Halal Bihalal

Jejak sejarah halal bihalal dicetuskan pertama kali oleh KH Wahab Hasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Pencetus terminologi halal bihalal, KH Wahab, adalah seorang ulama berpandangan modern. Ia menjelaskan bahwa halal bihalal berasal dari kalimat “thalabul halal bithariqin halal”, artinya sebuah cara yang baik dilakukan dengan cara yang baik pula. Hingga saat ini, istilah halal bihalal menjadi sebuah tradisi yang dilakukan dalam rangka silaturrahmi atau acara yang saling memaafkan kesalahan baik disengaja atau tidak disengaja.

Halal bihalal berawal dari keresahan Bung Karno, presiden RI pertama, atas sebuah realitas terkait dengan kondisi politik saat itu. Kemudian, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah untuk mencairkan suasana yang kurang kondusif. Pada saat itu terjadi kesenjangan di antara elite politik, bahkan di antara mereka terjadi saling curiga dan saling menyalahkan. Maka diperlukan sebuah cara yang dapat mencairkan suasana tersebut.

Melihat keadaan yang demikian, KH Wahab yang juga pendiri harian umum Soeara Nahdlatul Oelama ini kemudian mengusulkan agar diadakan acara temu nasional yang digagas melalui silaturrahmi. Sebenarnya, Presiden Soekarno setuju dengan gagasan tersebut, tetapi Bung Karno menginginkan istilah lain dari acara silaturrahmi.

Kemudian KH Wahab kengusulkan acara halal bihalal yang di dalamnya dikemas dengan acara silaturrahmi. Bung Karno pun setuju dengan istilah halal bihalal yang kemudian menjadi suatu tradisi di seluruh kawasan Nusantara.

Bermaaf-Maafan

Halal bihalal merupakan sebuah tradisi yang biasanya dilaksanakan setelah Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Acara ini pada perkembangannya mengalami perubahan sesuai dengan kondisi dan situasi. Dari acara yang paling sederhana hingga acara yang paling mewah. Tergantung bagaimana acara tersebut dikemas berdasarkan kemampuan masing-masing panitia pelaksana.

Terkait dengan pandemi Covid-19, saat ini halal bihalal dilaksanakan dengan cara virtual. Atau juga dapat dilakukan dengan cara offline, tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah. Jadi pelaksanaan halal bihalal disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena inti dari halal bihalal adalah saling memaafkan, meminta maaf, dan memberi maaf.

Sehubungan dengan tradisi maaf memaafkan ini, Allah berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf:199).

Maaf memaafkan dilihat dari aspek sosial merupakan dasar yang paling utama agar terjalin kehidupan yang harmoni. Hakikat kehidupan adalah rasa sosial, peduli sosial, dan karakter sosial. Dalam berkehidupan kita dituntut untuk saling memberi, baik dari sisi finansial maupun nilai-nilai sosial. Bukan sebuah kebetulan, jika kemudian koridor kehidupan sosial dapat dilakukan melalui acara halal bihalal.

Lestari Budaya Kebaikan

Halal bihalal, silaturrahmi, menyambung tali persaudaraan, dan maaf memaafkan merupakan suatu budaya atau tradisi yang harus kita lestarikan. Karena di dalam acara tersebut dibangun suatu hubungan kemanusiaan yang akan mempererat dan menjalin keakraban. Melestarikan kebudayaan yang mengandung nilai luhur humanis, merupakan langkah yang tepat untuk komunitas kemanusiaan.

Halal bihalal merupakan tradisi yang harus dipertahankan. Karena, di dalam acara halal bihalal ini dibangun keakraban dan saling memaafkan. Oleh sebab itu, tradisi baik ini wajib kita lestarikan sebagi bagian dari budaya bangsa.

Indonesia merupakan negara dengan budaya dan kepercayaan yang multikultural. Saling menghormati di dalam keberagaman akan mempererat persatuan dan kesatuan. Maka akan terbangun sebuah negara yang kuat dengan dasar pluralisme kepercayaan, aneka tradisi, dan ragam budaya.

Halal bihalal telah menjadi suatu tradisi dalam rangka menyambung tali silaturrahmi dan saling memaafkan kesalahan antara satu dengan lainnya. Dalam batas kebiasaan ini, seharusnya kita membangun etika kemanusiaan yang saling mencintai. Tidak boleh terjadi adanya pamer kekayaan dan atau pamer status dan identitas diri. Sebab kalau ini yang terjadi, maka visi awal halal bihalal akan terkebiri dan tersingkirkan. Kita berlindung kepada Allah dari niat-niat yang tidak baik. Wallahu A’lam!

Madura, 01 Syawal 1442 H./13 Mei 2021 M.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan