Fenomena hijrah di kalangan umat muslim dalam beberapa tahun terakhir sering diidentikkan dengan perubahan gaya berpakaian. Banyak yang mengaitkan hijrah dengan busana syar’i, seperti pemakaian hijab panjang, gamis, dan celana cingkrang bagi pria.
Bagi sebagian orang, perubahan dalam cara berpakaian ini menjadi tanda komitmen hijrah yang baru. Namun, terkadang muncul kritik karena hijrah seolah dipersempit maknanya, hanya menjadi perubahan penampilan luar yang sesuai tren tertentu, tanpa diiringi dengan perubahan diri dengan mendalami nilai-nilai spiritual yang lebih mendalam.
Hijrah dalam Islam sejatinya adalah proses meninggalkan kebiasaan buruk dan mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui perubahan dalam niat, perilaku, serta peningkatan kualitas ibadah dan akhlak. Ketika seseorang hijrah diidentikan dengan perubahan penampilan, ada risiko makna hijrah bergeser menjadi sekadar gaya hidup baru.
Fenomena ini menyebabkan hijrah terlihat seperti sebuah tren sosial yang berkembang pesat, apalagi dengan dukungan media sosial yang menyoroti aspek visual dari transformasi ini.
Banyak yang hanya sekadar ikut-ikutan berhijrah dengan mengubah penampilan sesuai standar gaya populer, tanpa memahami esensi hijrah sebagai perjalanan spiritual.Bahkan, perusahaan fasyen muslim berkembang begitu pesat, menawarkan beragam pilihan busana dengan label syar’i atau hijrah.
Di satu sisi, ini bisa membantu mereka yang baru berhijrah untuk lebih mudah mengadopsi busana sesuai nilai-nilai Islam. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa hijrah menjadi sekadar komoditas atau tren konsumtif yang tidak selalu mencerminkan peningkatan kualitas keimanan.
Di media sosial, kita sering melihat seseorang yang memutuskan berhijrah, terutama para figur publik atau selebriti, menampilkan proses transformasi mereka. Mereka memperlihatkan perubahan penampilan dengan busana syar’i, sehingga hijrah terlihat lebih pada aspek visual atau gaya hidup baru. Perubahan ini sebenarnya wajar, karena sebagai makhluk sosial, kita cenderung mengekspresikan identitas baru kita melalui simbol yang mudah dikenali, salah satunya melalui gaya berpakaian.
Contoh konkretnya adalah tren penggunaan hijab panjang dan gamis syar’i di Indonesia, yang kerap kali dimulai dari para selebriti yang berhijrah dan kemudian mempengaruhi penggemarnya untuk mengenakan busana serupa.
Saya setuju bahwa hijrah bukan semata tampilan luar atau gaya pakaian syar’i. Namun, bukan hal yang jelek jika seseorang memulai hijrah dengan pakaian Islami. Senyampang tidak semata-mata tampilan luar, bahkan seyogyanya diikuti oleh komitmen hati untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Intinya, catatan ini cukup menjadi inspirasi bagi kita agar pemahaman hijrah tidak dipersempit dengan batasan tampilan an sich. Karena perubahan buruk menjadi baik memiliki area kreatifitas yang cukup luas. Mantap!!!!!