“Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang? Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil,” kata SBY saat berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, Kamis (15/9/2022).
Pada Selasa malam, saya menonton (tidak sengaja) terkait dengan pernyataan SBY di sebuah stasiun televisi TV, TV-One. Sebuah acara “Catatan Demokrasi” yang dihadiri oleh Boni Hargens (pengamat politik), Adian Napitupulu (politisi PDIP), Mamang Abdurrahman (politisi Golkar), Chusnul Mar’iyah (mantan Komisaris KPU), Jansen Sitindaon (politisi PD), dan Mardani Alisera (politikus PKS).
Ada banyak hal yang didiskusikan terkait dengan pernyataan SBY tentang “turun gunung”. Sebagimana jalannya diskusi yang merupakan bagian dari demokrasi, ada pembelaan pun juga ada penyanggahan.
Bagiu saya, pernyataan SBY tidak memiliki efek apa pun. Maksudnya, saya tidak terlalu peduli dengan pernyataan-pernyataan politik. Ini (mungkin) disebabkan karena saya tidak memiliki misson di dalam perpolitikan. Tetapi bukan berarti saya apatis terhadap politik, karena di dalam siyasah itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan (baca: kekuasaan).
Jika kemudian Mukhlisin membuat catatan tersendiri terkait dengan SBY turun gunung, saya melihat bahwa Saudara Mukhlisin ini memiliki ketertarikan khusus terkait politik. Atau jangan-jangan, ia adalah politikus senyap, yaitu politisi yang tidak terungkapkan ke permukaan. Sorry, hanya sebuah reaksi atas catatan yang berjudul “Turun Gunung” di web duniasantri.co. Apalagi, jika dikaitkan dengan referensi yang Mukhlisin miliki, How Democracies Die, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Sebuah buku yang tidak bisa dibilang mudah, baik cara mendapatkannya maupun teknis memahaminya (?).
Adapun poin yang dapat saya cerna dari Catatan Demokrasi tersebut, bahwa setiap praktisi partai politik memiliki legalitas untuk mengungkapkan keinginannya. Itu artinya bahwa tidak sedikit praktisi partai atau politikus yang memberikan statemen tanpa dasar yang pasti. Pada akhirnya akan terjadi ambiguitas sebagaimana dicerna oleh banyak pengamat. Hal ini tentu bukan hal biasa yang mesti dibiasakan. Meskipun pada akhirnya, seorang politisi akan mempunyai jawaban terkait dengan pernyataannya.