MEMBUNUH TUHAN
Drama-drama, topeng-topeng,
menghindari wajahnya sendiri.
Kebohongan-kebohongan ilusif, kenaifan,
menghakimi nuraninya sendiri.
Tuhan dibunuh dalam setiap kesenangan,
Dalam kebuasan hasrat yang membabi buta,
dan Tuhan dihidupkannya kembali pada tembok ratapan;
kegelisahan, kesusahan, penderitaan-penderitaan,
yang lebih ironis ialah ketidakberdayaan dalam kedok-kedok doa;
mantra-mantra bagi mereka serupa kekuatan, eskapisme dan ritus-ritus yang menghindar dari kenyataan.
Mereka hidup dalam keputusasaan,
berlaga dungu dalam kepanikan,
keloyoan hidup dalam kemalasan,
menampilkan kelemahan dalam heroisme pasif,
Tuhan abadi dalam kekalahan manusia.
Oktober, 2023.
TEMARAM
Pendar-pendar jingga di kaki langit
Hening petang asuhan waktu
Tarian angin lukisan awan
Hanyut lelaki menuju peraduan
Sentimental arusnya, membungkuk ia dalam penghayatan
Temaram tiba di dada, di kepala
Gelegak impian dan batu-tarungnya,
perlawanan dan penyerahan situasi hidupnya menjadi cakrawala
Lelaki menjelma manusia kata
Dipahaminya bahasa agin, matahari, ufuk, keheningan, waktu, dan semesta
Halus merangkul, melipat ruang dan waktu
Lelaki menyanyikan lagu bisu
Di kejarnya bayang-bayang, ditangkapnya cahaya
Lelaki tenggelam dalam telaga air mata
Mei, 2024.
BUNGA ABADI
Semerbak wangi bunga di kebun pertama
Bersarang karang pada kelopaknya
Gagak-gagak berdansa memekik suara
Mata pedang cinta mengoyak dogma
Pada pangkal daun terakhir di bulan Juli
Puisi-puisiku berombak, menari-nari
Melesat, menerjang, menembus langit kota
Tegak pandangku pada kisah Qais dan Laila
dan kau di mana juwita?
Berangkat waktu datang menjengah
Pada ujung pandang kulukis wajah
Kupetik pena dari selimutnya
Lalu mencatat ingatan mendalam bersama juwita
Kebestarian manusia memecah waham
Tapi tidak dengan cinta manusia yang mendalam
Tak diizinkan barang sebentar logikanya menjemput kesadaran
Di antara cokelat, bunga, kembang api, dan pingitan kebahagiaan
Riang seorang diri berdansa ia di dalam pesta bertajuk kegilaan
Juli, 2024.
DENGARKANLAH
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada keelokan kelopak mawar, maka harus kutanggung segala pedih durinya,
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada cemara yang mencakar-cakar langit, maka harus kutanggung segala terjang angin dan badainya.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada indah merpati di dalam sangkar, maka harus kutanggung segala kekang dalam sayapnya.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada sungai-sungai yang bercumbu di muara, maka harus kutanggung segala limbah dan sampahnya.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada kemegahan samudera, maka harus kutanggung segala batu terjang ombaknya.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada keperkasaan gunung-gunung, maka harus kutanggung segala marabahaya di kedalaman hutannya.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada anggun mega awan di langit sore, maka harus kutanggung segala kerelaan perginya direnggut sang mendung.
Sekiranya aku telah menjatuhkan hati pada gemerlap cahaya bintang-bintang dan putih sinar rembulan, maka harus kutanggung segala gelap yang mengintainya.
Dan sekiranya pangkal jantungku telah kau sentuh, maka tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak menjatuhkan hati padamu.
Juli, 2024.
SEKALI LAGI
Gelegak takdir serupa irama
Laju asa tak boleh kenal henti
Menghadapi hari yang tak kenal damai dan aman
Saling memukul dan bertinju lah di gelanggang zaman
Ketika ia menghantam rusuk, punggung, dada, juga kepala
Sebentar menyerang, sebentar menangkis
Segores sikut
Sepenuh luka
Bertahanlah!
Merah, biru, hitam, ungu
Penuh lebam sekujur tubuh
Itu bukan masalah!
Nurani jangan pergi
Bertinjulah sekali lagi!
Juli, 2024.
Ilustrasi: gede gunada.