Menafsir Waktu dalam Puisi

259 views

MENITI WAKTU
Oleh: Mukhlisin

Aku meniti waktu
menuju tanah-tanah
berbatu.

Advertisements

Sebab, di sanalah
kekasih
kelak kita menanam
buah rindu.

Aku mengukur jarak
menjadikannya seindah
berlarik sajak.

Sebab, di sanalah
kekasih
kelak buah rindu kita
beranak-pinak.

Dalam tradisi Islam, waktu diibaratkan sebagai pedang. Jika kamu tidak menebaskannya, maka waktu tersebutlah yang akan menebasmu. Dan jika jiwamu tidak disibukkan dalam kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkanmu dalam kebatilan. (Imam As-Syafi’i, dinukil oleh Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Jawaab Al-Kaafi).

Begitu pentingnya perihal waktu, bahkan seringkali Allah bersumpah dengannya (wal ‘ashri, demi masa), karena hakikat waktu yang sangat perlu diperhatikan.

Dalam bahasa Arab, waktu memang ditamsilkan sebagai mata pedang, “alwaktu kassyaif,” (waktu adalah (mata) pedang). Sedangkan, dalam bahasa Inggris, waktu ditamsilkan dengan uang, time is money, (waktu adalah uang). Lebih jauh dan mendalam, di dalam al-Quran waktu seringkali digambarkan sebagai sebuah kesempatan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Waktu adalah masa yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Sementara, dalam lirik puisi berjudul Meniti Waktu yang ditulis Mukhlisin, yang dirilis di duniasantri.co pada 14 Desember 2020, waktu menjadi energi puitika histografi dalam menjalani kehidupan. Meniti artinya melewati, bergumul dengan waktu, mengurai anjangsana kebaikan.

Aku meniti waktu//menuju tanah-tanah//berbatu.”

Aku lirik (aku puisi) dalam puisi ini, penulis mengambarkan sedang mengarungi masa menuju (disengaja atau tidak) sebuah tujuan (yaitu: tanah-tanah berbatu). Ungkapan ini merupakan sebuah metafor dari ujian perjalanan sejarah. Bahwa tiap jengkal ruang kehidupan adalah sebuah ujian (berbatu). Tetapi yang pasti, hidup itu sendiri memang merupakan sebuah batu ujian.

Dalam al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 155, Allah berfirman, “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Pada sebuah tujuan hidup, di tanah berbatu, atau di padang berumpun mekar purnama, tanah yang terpijak, ada buah rindu yang akan kita petik.

Sebab, di sanalah//kekasih//kelak kita menanam//buah rindu.”

Rupanya, penulis puisi bersajak ini sedang bercakap pada “kekasih”. Tautan diksi “kekasih” dapat sebagai seorang istri, anak, atau bahkan sang Mahakasih. Untuk yang terakhir ini, meski memungkinkan, terkait dengan pilihan bentuk kata, sepertinya kurang pas. Sedangkan, untuk pendamping hidup, istri, terkesan adanya kecenderungan ikatan. Wallau A’lam, hanya Allah dan penulisnya yang mengetahui.

Menanam buah rindu,” sepenggal lirik bernuansa romansa. Ketika buah rindu tertanam di antara jalinan kekasih yang halal, kelak akan didapat bunga sayang dan buah hati. Dan kelindan kerinduan dan cinta bernuansa di antara hakikat waktu. Sudah sepantasnya kita memperhatikan waktu agar ke depan, yang berawal dari masa lalu, bersiap di masa sekarang, untuk mendapatkan kesempurnaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Aku mengukur jarak//menjadikannya seindah//berlarik sajak.”

Jarak adalah rentang sebuah tempat atau ruang, yang dapat dipersepsi dengan dekat, sedang, dan jauh. Dalam jarak dan waktu terjadi sebuah kesalingan, karena waktu diperlukan dalam menempuh suatu jarak. Semakin jauh jarak yang ditempuh, biasanya memerlukan waktu yang semakin banyak (lama )— pada saat kecepatan konstan. Dalam fisika disebutkan bahwa antara jarak dan waktu terjadi perbandingan searah. Artinya, semakin banyak waktu yang diperlukan, maka akan semakin jauh jarak yang ditempuh. Tentu berbeda dengan metafisik yang tidak ada kaitannya dengan tempat atau ruang dan waktu.

Seindah berlarik sajak” pada bait ketiga sama dengan “bertanam buah rindu” pada bait sebelumnya (bait kedua). Namun, interpretasi lirik sajak lebih luas menjangkau segala bentuk kebaikan. Sedangkan, bertanam buah rindu melingkupi nilai romansa di antara kehidupan berkeluarga. Kedua frase tersebut menasbihkan kisahan jejak kehidupan yang akan dikenang sebagai buah kebajikan.

Sebab, di sanalah//kekasih//kelak buah rindu kita//beranak-pinak.”

Masih setia dengan kekasih, istri, atau bisa jadi seseorang yang dicintai, meski orang tersebut bukan istri. Memahami marwah pencipta puisi, tidak terbersit sedikit pun untuk membangun ujaran tafsir yang tidak semestinya. Maka “di sana” pada sebuah tempat akan tercipta sebuah nostalgia yang akan melahirkan belahan hati bersulam jantung. Anak-anak yang akan lahir dengan membawa kesucian rindu dan kharisma cinta. Berharap di reranting waktu, pada saatnya nanti, kita membangun istana keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah.

Waktu yang membawa kita pada suatu masa. Sedangkan, kita adalah pengisi ruang dan waktu. Jangan sampai kita terpedaya oleh waktu (kematian) yang bisa datang sewaktu-waktu. Bersiap mengisi ruang dan waktu dengan taqarrub, mendekatkan diri bersama zikir. Sebab di ujung waktu adalah cinta untuk bersua dengan Allah.

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Wallahu a’lam bis shawab!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan