Menaksir Akhir Konflik di PBNU

Dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU), gejolak tidak pernah hadir sebagai peristiwa tunggal. Ia selalu memanggil kembali bayangan lama yang belum tuntas dipecahkan. Ketika Dewan Syuriah akhir November 2025 lalu meminta Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengundurkan diri, gema itu tidak berhenti sebagai riak politik. Ia mengetuk ruang ingatan yang lebih jauh. Seakan NU sedang membuka kembali halaman yang pernah ditutup tergesa.

NU bukan sekadar organisasi sosial keagamaan. Ia adalah lanskap sosial yang hidup dari jaringan otoritas kultural. Ada “kekuasaan halus” yang tak tertulis di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), tetapi menjadi fondasi semua legitimasi. Siapa pun yang menakhodai PBNU harus berdiri di atas landasan yang sama: restu kultural, kepercayaan pesantren, dan rasa bahwa seorang ketua bukan hanya administrator, tetapi penjaga adab kolektif.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Kasus Gus Yahya Staquf adalah ujian atas legitimasi itu. Kritik yang datang dari sejumlah kiai melalui Syuriah bukan sekadar soal kebijakan. Yang dipersoalkan jauh lebih dalam: apakah kepemimpinan PBNU hari ini masih sejalan dengan nalar kultural NU atau sudah terlalu miring mengikuti arus kekuasaan politik nasional?

Ketika sebagian kiai menyampaikan ketidakpuasan, itu bukan “pembangkangan” seperti yang mudah dibaca secara politis. Itu cara tradisional NU mengingatkan. Dalam tradisi pesantren, teguran selalu berdiri lebih tinggi dari struktur. Ia lahir dari kepekaan moral; bukan perebutan posisi.

Ingatan kemudian mengapungkan kembali nama KH Idham Chalid. Di kalangan santri, cerita tentang beliau jarang dibahas jujur. Idham adalah politisi ulung, tokoh besar, tetapi juga sosok yang pada masa tertentu kehilangan pegangan kultural yang dulu mengangkatnya. Ketika tekanan datang, ia memahami bahwa jabatan bisa bertahan, tetapi legitimasi tidak. Ia memilih mengundurkan diri. Keputusan itu bukan kekalahan. Itu cara seorang kiai menjaga NU agar tidak berubah menjadi arena yang dikuasai ego dan gengsi.

Lalu muncul pertanyaan yang lebih pedih: bagaimana mungkin Gus Dur yang jauh lebih “mengguncang” tradisi justru dapat naik menjadi Ketua Umum PBNU setelah Idham mundur?

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan