Gelaran puncak resepsi perayaan satu abad Nahdlatul Ulama (NU) pada 7 Februari 2023 di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, menyisakan kenangan indah bagi sejarah peradaban Islam Indonesia. Islam hadir dengan wajah yang rukun di tengah era disrupsi dan turbulensi politik menjelang 2024. NU memasuki usia yang bukan hanya matang, tetapi kokoh sebagai organisasi massa (ormas) terbesar yang berpegang pada paham ahlusunnah wal jamaah. Ajaran yang dibawa Nabi dan para sahabatnya.
Dalam konteks sosial, landasan doktrin dan peran NU sangat relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Doktrin yang berpangkal pada tawasuth (moderasi), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar maruf nahi munkar menjadikan NU sebagai penyumbang dan benteng ketahanan disintegrasi bangsa. Inilah yang dibutuhkan masyarakat saat ini.
Salah satu tekad yang ingin diwujudkan setelah NU memasuki abad kedua adalah mengubah kelompok tertentu yang ingin menyatukan umat Islam dalam negara tunggal khilafah. Mereka harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Hal ini memang harus menjadi sorotan, karena ide negara khilafah beserta tujuan dan misinya akan menimbulkan ketidakstabilan negara. Termasuk juga merusak keteraturan sosial yang memicu konflik berbau kekerasan.
Cara berislam inilah yang keliru dan bertentangan dengan Islam. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan terhadap manusia. Cara yang paling manjur untuk mewujudkan Islam dalam kerangka agenda merawat kerukunan bangsa adalah memperkuat kesejahteraan dan memperkuat rasa toleransi. Tidak hanya sesama muslim saja, semua golongan, aliran, ormas, ras bahkan nonmuslim harus dihormati.
Dalam resepsi satu abad NU kemarin, terdapat momen unik sekaligus menyentuh hati ketika kampus di bawah naungan Muhammadiyah turut serta dalam membantu jutaan nahdliyin yang hadir dalam acara tersebut. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA), misalnya, menyiapkan tempat istirahat, makanan gratis, hingga bantuan kesehatan bagi para jamaah nahdliyyin.
Melalui Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sidoarjo, dikatakan bahwa fasilitas dan layanan gratis yang siapkan warga Muhammadiyah untuk acara resepsi seabad NU, yaitu parkir kendaraan, masjid untuk istirahat, 2.000 nasi bungkus, 9.000 air minum, 3.000 porsi bakso. Selain itu, secangkir teh hangat dan snack untuk 2.000 orang dan ambulans gratis.
Momentum tersebut memberikan refleksi segar bagi Islam di Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas dapat memberi warna baru dalam kerangka Islam yang bertoleran. Tidak saling menjatuhkan dan hidup bersama-sama. Hal ini juga sejalan dengan tema seabad NU, yaitu menuju kebangkitan baru. Kebangkitan ini mempunyai visi, di antaranya adalah kebangkitan akademik, sains, teknologi, dan kebangkitan karakter dalam era kolaborasi.
NU dan Muhammadiyah bisa dikatakan sebagai basis dan penyangga Islam di Indonesia. Meskipun NU lebih muda daripada saudaranya Muhammadiyah, tidak menjadikan keduanya saling menyerang dan memunculkan konflik. Keduanya memiliki ciri khas dan cara berislam sendiri-sendiri. Tetapi perlu diingat meskipun punya kekhasan masing-masing, tujuan daripada beragama tentu sama yaitu habluminallah dan habluminannas
Cara berislam NU lebih bersifat tradisional dan menekankan pada kekhusyukan. NU lebih mengajarkan pada perihal menata hati. Hidup dalam suasana damai, rukun, dan gotong royong. Sementara itu cara berislam Muhammadiyah yang lebih progresif dan menekankan pada pembaharuan dan kemodernan. Muhammadiyah lebih mengajarkan pada perihal menata badan. Artinya Muhammadiyah lebih mengedepankan pada progresivitas pembangunan.
Keduanya tidak perlu dikotak-kotakan. Keduanya sama-sama sebagai ormas yang berkontribusi besar bagi bangsa ini. Justru, kolaborasi dalam membangun peradaban bersama adalah wujud Islam sesungguhnya. Dengan berkolaborasi dalam konteks Islam sosial, maka akan terwujud negara Indonesia yang kuat dan kecintaan terhadap tanah air akan terus terjaga.
Seperti yang didawuhkan KH Hasyim Asy’ari tentang “mencintai agamamu juga harus dibarengi dengan mencintai negaramu” adalah ajaran yang sangat kekinian dan relevan. Wujud manifestasinya adalah apa yang dilakukan oleh NU-Muhammadiyah. Sehingga nanti ujungnya adalah kesejahteraan bangsa Indonesia akan meningkat. Masyarakat Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang lebih maju.
Peran santri
Mendengar kata santri apa yang ada dipikiran masyarakat? Ya, masyarakat pasti berharap santri sebagai ujung tombak perubahan. Terlebih santri merupakan produk pesantren sekaligus agen penerus para kiai. Lalu, bagaimana santri memaknai islam abad modern ini? Apakah santri sudah cukup menjadi penggerak agregator keislaman masyarakat?
Santri dengan segudang keilmuannya diharapkan menjadi agen sosialisasi cara berislam yang moderat. Cara berislam yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Selain itu, santri diharapkan tidak hanya berkecimbung dalam perihal agama saja, melainkan ilmu kewirausahaan, sains, pendidikan juga perlu untuk dipelajari. Hal inilah yang nantinya akan memperkuat pesantren sebagai lembaga produktif penghasil lulusan kebutuhan zaman.
Dengan mempelajari teknologi dan melek digital nantinya santri dapat menjadi founding fathers revolusi mindset masyarakat yang bekerja sama dalam membangun peradaban bangsa. Hal ini perlu didukung penuh oleh seluruh stakeholder bangsa. Sehingga, santri dapat menyebarkan nilai-nilai keislaman moderat dengan cepat dan mudah di abad teknologi sekarang.
Sebagai agent of change masyarakat, santri bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Hal itu adalah dengan terus menambah amal usaha di sektor pendidikan. Itulah nilai-nilai dakwah Muhammadiyah. Hal tersebut merupakan harapan pondok pesantren terhadap lulusannya. Mereka kembali ke pesantren dalam wujud amal usaha bersama-sama membangun dan memperkuat sektor pendidikan.
Jadi sudah saatnya kita tidak terjebak pada polarisasi agama. Insyaallah Islam akan tumbuh semakin kokoh apabila kita bekerja sama dan toleransi antarsesama muslim dan juga antara pemeluk agama yang berbeda.
Semoga momentum puncak resepsi perayaan seabad NU dan bantuan Muhammadiyah dapat membuka mata hati kita bahwa kita sepatutnya bersyukur hidup dalam suasana rukun dan damai. Cukuplah menjadi pembelajaran di negara-negara Timur yang hingga kini masih dalam konflik berkepanjanan akibat lemahnya ikatan persaudaraan.