Di tengah situasi pandemi yang belum nampak ada titik ujungnya ini kehidupan sosial semakin dibatasi. Ruang gerak semakin sempit. Forum-forum pengajian yang mengumpulkan massa bahkan nyaris habis. Kalau sebelum adanya pandemi masyarakat kita sudah sangat lekat kehidupannya dengan HP, maka sekarang menjadi semakin tidak bisa dipisahkan lagi. Kehidupan dan segala pernak-perniknya ini seolah terlipat dalam layar HP yag hanya beberapa inci saja.
Keadaan seperti ini membuat semua hal yang berkaitan dengan dunia digital menjadi semakin laku dan bahkan laris manis. Salah satu yang ketiban rezeki adalah dunia tulisan digital. Panggilan untuk menulis bagi para santri pun bergema di mana-mana agar dunia yang maya ini dipenuhi warna Islam yang ramah.
Sebagaimana jamak diketahui bahwa banyaknya tulisan yang terpajang secara gratis di dalam gudang “Mbah Google” acapkali membuat banyak orang terpeleset dalam memahami agama. Hal ini dikarenakan tulisan-tulisan yang tersaji itu tidak ditulis oleh orang yang berkompeten di bidangnya. Terpelesetnya pemahaman mengenai agama bisa juga ditimbulkan oleh karena adanya pihak-pihak yang memang sengaja menciptakan kekeruhan dalam beragama. Di ranah inilah partisipasi para santri sebagai penjaga gawang ilmu agama menjadi mutlak diperlukan. Dan kiprah mereka dalam bentuk tulisan adalah salah satu pilihan yang paling jitu.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Nama kita akan dikenang sepanjang masa walaupun usia tak sampai kepala lima. Suara kita dapat terus terdengar walau mulut sedang terbungkam rapat. Tubuh bisa terpenjara di balik jeruji besi, akan tetapi tulisan bisa terus berkeliaran menyuarakan kebenaran. Tulisan bisa juga menjadi amal jariyah yang pahalanya akan tetap bisa dipanen walau penulisnya sudah berada di alam kematian.
Maka dalam kegiatan menulis terdapat kemanfaatan yang banyak sekali. Bahkan, Iman Ali pernah mengatakan bahwa satu di antara dua perkara yang bisa mengikat ilmu, selain mengajar, adalah dengan menulis. Ilmu menjadi abadi dalam ingatan karena ia terikat melalui sebuah tulisan.
Namun kemudian muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimanakah dengan seorang penulis yang gemar menuliskan kebajikan namun fasiq tabiatnya? Pantaskah menulis akan tetapi tidak sesuai dengan perilakunya? Tulisan-tulisannya bak para malaikat, tapi perilakunya sangatlah bejat; pantaskah mereka tulisannya terus bersuara?”
Tulisan tak ubahnya sebuah suara, akan tetapi dia diterima oleh mata, bukanlah telinga. Sehingga adab seorang penulis setali tiga uang dengan adab seorang pendakwah. Lalu bagaimanakah adab seorang pendakwah?
Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kita renungkan sebuah kisah penuh hikmah antara Imam Hasan al-Basri dan seorang budak yang ingin sekali merdeka dari belenggu tuannya. Kisah ini terdapat dalam kitab Al-Fawaid al Mukhtaroh li Saliki Thariqil Akhiroh, yang berisi hikmah ucapan Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith. Dalam kitab itu diceritakan tentang alasan Imam Hasan Al-Basri tak kunjung menuruti permintaan seorang jamaah yang meminta dirinya menyampaikan khutbah tentang memerdekakan budak.
“Aku menunda-nunda permintaanmu itu tak lain karena saat itu aku belum pernah memiliki budak, dan aku tak mempunyai cukup harta untuk membeli budak, hingga suatu hari Allah memberiku rezeki untuk membeli budak. Setelah kubeli, budak itu aku merdekakan. Sejak saat itulah aku baru mau menyampaikan tema khutbah sesuai permintaanmu. Aku hanya tidak ingin berkhutbah ihwal sesuatu yang sama sekali belum aku alami,” ujar Imam Hasan al-Basri menjelaskan alasannya kepada seorang jemaah yang merupakan mantan budak itu.
Masih pantaskah kita bernasihat melalui tulisan setelah membaca kisah Hasan Al Basri itu? Jawabannya tentu tidak pantas. Lalu haruskah kita meninggalkan dunia tulis-menulis lantaran belum memiliki kesesuaian antara perilaku dan tulisan kita? Tunggu dulu. Perilaku memang belum bisa dikatakan paripurna. Tapi haruskah kita menunggu menjadi seorang Hasan Al- Basri baru untuk sekadar memberitahu orang lain bahwa suatu hal itu buruk dan hal ini baik?
Untuk menjadi seorang al-waidz memang ada tuntutan kesesuaian akhlak dengan apa yang disampaikan. Seorang penasihat atau al-waidz atau seorang dai memiliki tanggung jawab moral atas apa yang disampaikannya. Selain itu, seorang pendakwah dengan nilai rapor akhlak merah tak ubahnya seorang pendusta yang gemar menutupi aib sendiri dengan cara menyampaikan kalimat-kalimat suci. Allah berfirman , “Amat besar kebencian di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.61:3).
Lalu, apa sebaiknya seorang pendakwah/penulis harus membuka aibnya? Haruskah mereka menceritakan semua dosa-dosanya di depan orang yang dinasihati sebelum berpetuah agar tidak dicap pendusta? Lagi-lagi tunggu dulu. Gus Baha (KH. Bahauddin Nursalim) pernah menyampaikan dosa seorang bapak yang beranak pinak gara-gara bercerita di depan anak-anaknya bahwa dulu di masa mudanya pernah berpacaran, karena cerita seperti ini cenderung menginspirasi orang lain (dalam hal ini anak) untuk melakukan hal yang serupa.
Jadi, membeberkan dosa pada orang lain adalah juga perkara yang haram karena bisa menjadi contoh buruk bagi orang lain. Padahal, setiap contoh buruk yang ditiru orang lain akan berakibat dosa itu ditimpakan pula pada orang yang memberikan contoh keburukan itu. Akan tetapi, membeberkan keburukan diri pada orang alim, misalnya pada guru/kiai, tentu tidak bisa disamakan dengan hal tersebut. Sama halnya dengan seorang dokter, seorang ulama mengemban amanah untuk menyembuhkan penyakit hati murid-muridnya. Dan mengobati keburukan murid tidak bisa dilakukan tanpa mengetahui keburukan apa yang dimiliki oleh muridnya itu.
Sebenarnya, untuk menjadi seseorang yang dapat menyebarkan kebaikan tidak harus menjadi seorang pribadi yang sempurna, karena hal itu tak setiap orang mampu melaksanakannya. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menuturkan bahwa seorang yang fasiq boleh memberikan nasihat karena persyaratan bersih dari dosa teramat sulit terpenuhi. Bahkan bisa-bisa agama ini akan sulit tersyiar jikalau orang-orang fasiq tidak boleh menuturkan kebaikan. Namun demikian, kebaikan yang dituturkan bukan oleh orang baik-baik akan sulit diterima dan cenderung diabaikan. Salah satu cara agar kebaikan dapat terus tersyiarkan secara effektif adalah dengan menuturkan cerita. Kisah-kisah teladan adalah pitutur yang mampu menembus sekat-sekat hati. Bahkan, sebagian besar isi al-Quran adalah tentang kisah-kisah orang terdahulu yang penuh hikmah.
Imam Abu Hanifah pernah menyatakan bahwa beliau lebih suka menelisik cerita para ulama daripada mempelajari ilmu-ilmu fikih, karena dalam cerita-cerita itu sendiri tersimpan dasar-dasar ilmu fikih dan keutamaan perangai orang-orang saleh.
Dalam kitab Ainul Adab Was Siyasah disebutkan bahwa Umar Bin Khattab pernah berkata, “Hendaklah kalian mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang memiliki keutamaan, karena hal itu termasuk dari kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan dan kenikmatan bagi jiwa.”
Hal senada juga disampaikan oleh Ali bin Abdurrahman bin Hudzail di kitab yang sama. “Ketahuilah, bahwa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang memiliki keutamaan akan memberikan kesenangan dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah tersebut akan melegakan hati serta mengisi kehampaan. Membentuk watak yang penuh semangat dilandasi kebaikan, serta menghilangkanrasa malas.”
Menulis cerita yang sarat akan makna adalah cara bernasihat tanpa kesan menggurui. Cara ini di masa orang enggan mendengarkan pesan atau nasihat karena tak mau digurui. Melalui penulisan cerita, pesan yang tersampaikan dalam sebuah akan terlihat sebagai sebagai sebentuk interaksi dan relasi antartokoh, sehingga terhindar dari kesan menggurui. Terakhir, mari kita mengais pahala dari menulis cerita. Semoga dengan tetap berpesan dan berwasiat dalam kebaikan (apa pun itu caranya, dan bagaimana pun itu bentuknya) kita digolongkan oleh Allah sebagai orang-orang yang beruntung sebagaimana termaktub dalam al-Quran surat al-Ashr.
Wallahu a’lam bisshowab.