Ketika mendengar nama sastrawan Rusia, yang terbersit di benak kita barangkali adalah serentetan nama besar seperti Alexander Pushkin, Leo Tolstoy, Maksim Gorky, dan lain-lain. Demikian juga ketika kita mendengar nama kritikus sastra di Rusia, yang familiar untuk kita tentu adalah nama-nama semacam Vissarion Belinsky, serta nama tokoh besar lainnya.
Namun, pernahkah kita mendengar nama Gabdulla Tukay? Gabdulla Mukhamedgarifovich Tukay (Габдулла Тукай) adalah sosok sastrawan beretnis Tatar yang masih belum setenar nama-nama sastrawan di ranah sastra dunia. Tetapi, kiprah Tukay untuk masyarakat Rusia, khususnya di negara bagian Tatarstan, sangatlah fenomenal. Belum lagi beliau adalah seorang muslim yang revolusioner, tentu hal ini sangatlah menarik untuk kita tilik.
Nama Gabdulla Tukay mewakili hampir semua era dalam proses perkembangan spiritual masyarakat Tatar. Puisi-puisi indah yang dihasilkan hampir kesemuanya menceritakan spirit revolusioner dan nasionalisme terhadap tanah kelahiran. Maka tak berlebihan rasanya bila menyebut pria yang lahir pada 26 April 1886 ini adalah seorang pelopor bahasa sastra di Tatarstan. Sama halnya jika kita mengambil komparasi dengan penyair kondang Indonesia, sang pelopor angkatan 45, Chairil Anwar.
Gabdulla Tukay adalah putra seorang mulla (guru agama) yang sudah menjadi yatim-piatu di usianya yang masih belia, empat tahun. Hal ini menyebabkan Tukay selalu berpindah-pindah ke masing-masing kerabat keluarganya, yang pada akhirnya membentuk jati diri Tukay sendiri, sebagai seorang yang mencintai petualangan serta hal-hal baru.
Gabdulla Tukay menempuh pendidikan di Madrasah Mutygiya (Tikhvatullins) di Uralsk, dengan mengambil peminatan bahasa Rusia, serta sontak telah menunjukkan bakat sangat luar biasa dalam belajar. Di usia yang masih delapan belas tahun, ia sudah mengemban amanah sebagai pemegang majalah New Age, yang mana di media tersebut pula Tukay menerjemahkan manuskrip-manuskrip puisi ke dalam bahasa Tatar. Dari sana pula Tukay mulai mengidolakan penyair Aleksander Pushkin dan Mikhail Lermontov.
Medio 1905 menjadi tahun yang menempa Tukay dengan karya-karyanya. Pada masa itu terjadi sebuah pemberontakan masyarakat di Tatar terhadap pihak Kekaisaran Rusia yang mencoba mengusir bangsa Tatar dengan dalih merapikan perbatasan. Tukay dengan tegas menyatakan penolakan dalam puisinya yang berjudul “Без Бармыйбыз” (Kami Tidak Akan Pergi) yang kemudian menjadi stimulan masyarakat sekitarnya untuk bersolidaritas membela tanah air. Sejak saat itu ia teguh dengan posisinya, yakni dengan mengangkat tema-tema pembebasan nasional dalam setiap karya yang dihasilkan.