29 Juli 1994, tepat 28 tahun silam, kita kehilangan sosok ibu yang sangat berperan besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia ini. Beliau adalah Nyai Hj Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim atau sering kita sebut Nyai Solichah atau Ibu Wahid. Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis mengenang beliau sebagai sosok istri dan ibu dari para pejuang.
Nyai Solichah lahir pada tanggal 11 Oktober 1922 di Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Beliau adalah anak kelima dari 10 bersaudara, dari pasangan KH Bisri Syansuri dengan Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH Abdul Wahab Hasbullah).
Sejak kecil, Nyai Solichah dididik langsung oleh ayah beliau, Kiai Bisri. Beliau diberi pengajaran tentang ilmu agama dan Bahasa Arab. Sifat sebagai seorang pemimpin Nyai Solichah sudah terlihat sejak masih belia. Cara berpikir beliau luas dan maju, terutama setelah ikut beperan mengasuh pesantren putri asuhan ayah beliau, KH Bisri Syansuri.
Nyai Sholichah menikah dengan KH Wahid Hasyim pada tahun 1938 M, tepat hari Jumat, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, mereka tinggal di Pesantren Denanyar selama 10 hari, kemudian pindah ke Pesantren Tebuireng sampai tahun 1942 dalam zaman pendudukan Jepang. Tidak berapa lama setelah Jepang mendarat, Tebuireng dibubarkan dan KH Hasyim Asyari dipenjarakan di Surabaya. Hal ini dilatarbelakangi ketakutan Jepang terhadap besarnya pengaruh Kiai Hasyim terhadap perjuangan dari laskar pejuang Islam.
Sesudah Tebuireng dibubarkan, Nyai Solichah dan anak-anaknya diungsikan ke Denanyar. Sementara suami beliau, Kiai Wahid pergi ke Jakarta dalam rangka negosiasi pembebasan ayahandanya. Setelah melakukan lobi dengan berbagai pembesar dan instansi yang penting, akhirya Kiai Hasyim dibebaskan pada 18 Agustus 2802 Showa. Selepas itu keadaan berubah dan Tebuireng diperbolehkan dibuka kembali, Nyai Solichah dan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng.
Pada 24 Oktober 1943, Kiai Wahid ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia. karena dengan berbagai pertimbangan, Akhirnya Nyai Solichah dan ketiga anaknya diboyong ke Jakarta pada 1944. Mereka tinggal di Jalan Showadari, sekarang Jalan Diponegoro No 42 Jakarta. Tapi enam bulan kemudian, dikarenakan suasana persiapan kemerdekaan Negara Indonesia semakin memanas, akhirnya memaksa Nyai Solichah kembali ke Jombang