Pacaran merupakan salah satu larangan di pondok-pondok pesantren di antara beberapa larangan lainnya. Pihak pesantren menganggap pacaran tidak pantas dilakukan oleh santri dan karenanya termasuk melanggar agama. Selain itu, pacaran juga dianggap dapat mengganggu proses belajar dan mengaji santri di pondok.
Namun, tidak jarang sebagian oknum santri melanggarnya, meski memang gaya pacarannya cukup sederhana dan tidak seperti anak-anak muda di luar pesantren. Semua santri pun sudah mengetahi bahwa sanksi (takzir) bagi santri yang ketahuan berpacaran merupakan sanksi terberat di antara sanksi-sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang lain.
Rujukan larangan berpacaran oleh pesantren adalah karena Islam juga melarang hal tersebut yang berpotensi dapat mendekatkan pelakunya pada perbuatan zina. “Wa laa taqrabuz zinaa innahu kaana faahisyatan wa saa’a sabiilaa” (Dan janganlah kamu mendekati zina; sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS. Al-Israa:32)
Level sanksi pacaran bertingkat-tingkat, mulai dari yang ringan sampai yang terberat. Yang ringan, misalnya, santri mendapat sanksi “audiensi”, yakni bolak-balik menghadap dan meminta tanda tangan pengasuh pondok. Sedangkan, sanksi terberatnya adalah sepasang santri yang berpacaran tersebut akan disuruh memilih apakah akan bertunangan namun salah satunya harus berhenti mondok, atau putus saja namun tetap sama-sama masih boleh stay di pondok.
Pilihan yang cukup berat tersebut bisa membuat si santri pusing tujuh keliling. Biasanya, pihak keluarga si santri akan diberitahu dan diajak bermusyawarah oleh pihak pondok perihal tersebut. Hal itu merupakan cara terakhir (final method) dan hanya berlaku bagi santri yang terus-terusan melangar. Artinya, bukan hanya berpacaran satu-dua kali. Namun seolah-olah sudah menjadi habit (kebiasaan) yang cukup sulit untuk diatasi. Dan hanya sanksi tersebut yang bisa membungkam dan memberi pelajaran berharga bagi mereka.
Mungkin pertanyaannya, kok bisa santri pacaran? Padahal dinding dan tembok-tembok pesantren begitu tinggi dan kokoh untuk membatasi area santri putra dan putri. Pintu gerbang pun dijaga ketat oleh pihak pengurus keamanan pondok. Akses jalan antara keduanya juga sangat sulit untuk ditembus.
Memang ada satu-satumya akses jalan raya umum di mana santri putra dan putri bisa berpapasan, yaitu jalan menuju sekolah. Karena gedung sekolah berada di luar pondok dan harus menyeberang jalan raya yang masih ada dalam areal pesantren. Nah, di situlah kesempatan mereka untuk sekadar cuci mata meski tidak kurang dari lima menit. “Dosa dikit, kan belum lima menit,” demikian celoteh mereka saat itu berdasarkan pengalaman penulis saat mondok.
Dan yang membuat para santri panas dingin adalah karena di pojok jalan raya tersebut ada posko pengurus keamanan yang hampir 24 jam mengawasi kami. Laksana malaikat Raqib dan Atid yang selalu mengintai setiap saat. Waktu itu mungkin perasaan kami para santri tidak sekadar karena takut dosa, tapi lebih karena tatapan pengurus pondok di dalam posko keamanan yang seolah-olah hampir tidak berkedip sedetik pun mengawasi kami.
Para pengurus tersebut merupakan santri senior yang juga mempunyai tanggung jawab atas kehidupan pribadi sehari-hari, seperti harus memasak, mencuci pakaian, ngaji kitab, mengantre mandi, masuk kuliah, dan beberapa tanggung jawab lainnya. sehingga pada saat-saat tertentu terkadang posko tersebut tidak ada yang berjaga-jaga. Nah, pada saat itulah si santri-santri junior “nakal” ini biasanya beraksi.
Salah satu contoh aksi gaya pacaran “oknum santri” tersebut adalah lempar-lemparan surat atau bahkan foto yang tentu sudah dipersiapkan sebelumnya. Atau, surat-surat tersebut mereka selipkan di pagar bambu atau juga di bawah batu yang telah sama-sama diketahui dengan cara isyarat saat mereka bertemu di persimpangan jalan raya tersebut. Tak ada satu katapun yang terucap saat mereka berpapasan, karena sanksi berbicara dengan santri lawan jenis tidak tentunya ringan. Oleh karena itu si oknum santri tersebut harus celingak-celinguk untuk memastikan keberadaan pengurus keamanan, yang sering mereka sebut sebagai malaikat Munkar dan Nakir-nya pondok. Astaghfirullah!
Gaya pacaran lainnya yaitu “si oknum santri” bisa telepon-teleponan lewat wartel (warung telepon yang saat ini sudak ada lagi). Namun hal itu hanya bisa dilakukan saat salah satu santri sedang pulang ke rumahnya. Karena jika melalui telepon kantor pesantren jelas hal itu sangat mustahil karena bisa disadap langsung oleh pengasuh dan pengurus karena telepon tersebut bersifat paralel.
Kejadian di atas ternyata tidak luput dari perhatian para pengasuh dan pengurus. Sehingga tak kekurangan akal, pihak pengurus bekerja sama dengan pihak wartel agar menyediakan telepon penyadap untuk memantau “santri nakal” tersebut. Dan dari tindakannya itu, pihak wartel akan mencatat nama-nama santri yang melangggar dan melaporkannya kepada pihak pondok. Sanksi pun menanti. Oh!
Kejadiakan lain yang menggelikan yaitu saat “surat salah sasaran”. Waktu itu, di pondok penulis ada dua nama yang sama, katankalan “Acha” (bukan nama sebenarnya). Keduanya juga sama-sama suka nyerempet-nyerempet bahaya, nekat pacaran. Teman-teman santri biasa menyebut salah satunya Acha A, dan Acha B untuk yang satunya lagi.
Suatu hari saat berangkat sekolah Acha A dan teman-teman lainnya yang ada dalam satu geng, memeriksa pagar bambu dan batu, siapa tahu ada surat yang terselip di sana. Waktu itu kebetulan tidak ada Acha B, dia terlambat berangkat sekolah. Dan benar saja ada satu surat baru di situ. Di luar amplop tertulis “Untuk Acha-ku sayang”. Di situ tidak tertera Acha A ataupun B. Sontak saja, Acha A menganggap surat tersebut untuk dirinya. Dengan ke-GR-an ia pun menjajakan suratnya kepada teman-teman se-geng-nya, lalu merekapun membaca bersama-sama.
Kebetulan santri putra yang mengirimkan surat tersebut merupakan santri favorit yang di idam-idamkan kaum hawa, karena selain memiliki wajah yang rupawan, Rasyid (bukan nama sebenarnya) juga seorang qari bersuara merdu yang cukup populer. Selain itu, ia kerap mengisi tulisan di majalah pesantren, baik majalah sastra, keagamaan, dan yang lainnya. Rasyid yang dikenal kalem, pintar, dan alim nyatanya berani juga melanggar aturan pesantren. Setelah dikonfirmasi oleh salah satu santri putri yang mengenalnya, namanya Aisyah (bukan nama sebenarnya), ternyata betul surat tersebut dari si Rasyid. Dan ia pun mengakuinya. Namun sialnya, surat yang Rasyid maksud bukan untuk Acha A, namun untuk Acha B. Hah!
Rasyid yang kecewa pun berjanji tidak mau pacaran lagi. Dia merasa kapok sendiri, karena selain menyesal karena salah sasaran, hal itu juga mengganggu konsentrasi belajarnya, prestasi di sekolahnya pun menurun dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikulernya juga terganggu. Dan konon katanya juga, si Acha A benar-benar tidak mengetahui rahasia memilukan itu.
Dari kejadian tersebut penulis beranggapan bahwa pesantren tidak semena-mena membuat peraturan dan juga larangan, terutama masalah pacaran. Karena larangan tersebut dimaksudkan agar para santri berkonsentrasi penuh terhadap pelajaran di sekolah dan di pondok. Survei juga membuktikan bahwa santri yang suka pacaran dengan santri yang tidak pacaran membuat prestasi mereka sangat jauh berbeda.
Santri yang tidak suka pacaran lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal posisif seperti aktif di OSIS, rutin membaca di perpustakaan, rajin mengirim tulisan ke majalah dan mading pesantren, mengikuti acara-acara seminar, pelatihan-pelatihan, kelompok-kelompok kajian, kursus-kursus, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan santri yang suka pacaran, tentu banyak menghabiskan waktu dengan berfantasi, mengisi buku diary-nya dengan puisi-puisi cinta dari pada mengerjakan PR. Selain itu, mereka juga sibuk membahas dan memamerkan foto pacarnya dari pada berebut shaf paling depan salat berjemaah. Merencanakan hadiah ulang tahun pacarnya juga merupakan agenda wajibnya, yang tentu cukup menguras uang jajannya dari pada membeli buku-buku bacaan bermanfaat. Mereka juga menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan menulis surat dari pada melaksanakan kewajiban ngasok bacaan Al-Quran. Oleh karena itu, pelanggaran (pacaran) tersebut cukup berdampak serius pada pelanggaran-pelanggaran pondok yang lain. Dilarang saja begitu, apalagi tidak!