Dalam dunia pendidikan, hubungan antara guru dan siswa seringkali menjadi kunci keberhasilan proses belajar mengajar.
Salah satu aspek penting dalam proses ini adalah membudayakan kegemaran membaca. Karena membaca telah menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa depan yang cemerlang.
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan “Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya”.
Mengurai benang kusut literasi di era gadget memang menjadi tantangan yang signifikan di era serba digital ini. Peran guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pembelajaran menjadi semakin krusial. Guru harus mampu mengadaptasi metode pengajaran yang inovatif dan interaktif untuk menarik minat siswa dalam membaca.
Namun, di era digital saat ini, minat membaca di kalangan siswa tampaknya semakin menurun. Buku-buku digantikan oleh gawai, dan perpustakaan digantikan oleh media sosial. Inilah benang kusut yang harus diurai dalam dunia pendidikan kita.
Di sisi lain, siswa harus diajak untuk memahami pentingnya membaca sebagai fondasi pengetahuan. Membaca bukan sekadar mengeja huruf dan kata, melainkan sebuah ekspedisi yang membawa kita menelusuri lautan pengetahuan dan informasi.
Mereka harus diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai genre bacaan yang tidak hanya akademis tetapi juga yang memperkaya pengalaman dan perspektif mereka. Siswa harus didorong untuk menjadi pembaca yang kritis, yang tidak hanya menyerap informasi tetapi juga mempertanyakan dan merefleksikan apa yang mereka baca.
Teknologi yang sering dianggap sebagai musuh dalam perang melawan literasi, sebenarnya bisa menjadi sahabat yang paling setia. Di era digital, membaca bukan hanya tentang buku fisik. E-book, artikel online, dan sumber belajar digital lainnya bisa menjadi alternatif yang menarik bagi siswa.
Guru yang cerdas akan menggunakan teknologi sebagai kail untuk menangkap minat membaca siswa, bukan sebagai jaring yang menjerat mereka dalam ketidakpedulian.
Guru bukan hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga untuk memotivasi, menginspirasi, dan membimbing siswa untuk mencintai membaca. Guru diibaratkan kapten yang mengarahkan kapal literasi menuju pulau kebijaksanaan.
Dengan kecintaan mereka pada buku, guru dapat menularkan virus positif kegemaran membaca kepada siswa-siswa mereka.
Bagaimana caranya? Pertama, guru harus menjadi teladan. Seorang guru yang gemar membaca akan menulari siswanya untuk melakukan hal yang sama.
Kedua, guru harus mampu membuat proses membaca menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Ini bisa dilakukan dengan cara memilih bahan bacaan yang menarik, melakukan diskusi interaktif, atau bahkan membuat klub baca.
Namun, peran guru tidak akan maksimal tanpa dukungan dari siswa itu sendiri. Siswa harus memiliki kesadaran bahwa membaca adalah investasi untuk masa depan mereka.
Mereka harus mau meluangkan waktu untuk membaca, baik itu buku pelajaran maupun bacaan lain yang menambah wawasan mereka. Mereka harus berani menyelam ke dalam samudra buku untuk menemukan mutiara-mutiara pengetahuan yang akan membuat mereka menjadi generasi yang tidak hanya cerdas dan kritis, tetapi juga inovatif.
Hubungan simbiosis antara guru dan siswa adalah kunci untuk menenun jaring kecerdasan yang kuat. Bersama-sama, mereka dapat mengurai benang kusut literasi di era gadget dan mengembangkan budaya membaca yang kuat, karena membaca bukan hanya sekedar hobi, tetapi sebuah kebutuhan. Sebuah kebutuhan untuk terus belajar, berkembang, beradaptasi dan siap menghadapi tantangan dunia yang terus berubah.