Tulisan ini adalah murni hasil perenungan penulis pribadi, bukan untuk menanggapi siapa pun, dan semoga juga tidak terikat dengan fanatisme terhadap organisasi massa (ormas) apa pun.
Sebelum masuk lebih dalam, mari kita dudukkan dulu posisi pengelolaan tambang yang termasuk hal yang bersifat mu’amalat (public affairs), sehingga memiliki hukum asal mubah, kecuali jika ada dalil syar’i yang sudah jelas-jelas mengharamkannya, seperti riba dan masih banyak kasus lainnya.
Biasanya, seorang pakar fikih (faqih) mengharamkan sesuatu dengan melihat dua aspek. Pertama, li dzatihi atau melihat pada objek yang akan dihukumi. Kedua, li ghoirihi atau karena ada hal tertentu, sesuatu yang mubah bisa menjadi haram. Dari sini kita tahu bahwa tambang, lebih spesifik tambang batubara, hukumnya adalah mubah li dzatihi, dan bisa menjadi haram apabila ada hal tertentu yang bisa mengubah hukum asalnya.
Dalam kasus seperti ini, kita tidak mungkin -atau minimal kesulitan- menemukan teks pakar fikih yang secara jelas spesifik menyebutkan problematika tambang batubara, sehingga jalan yang bisa kita tempuh sekurang-kurangnya ada dua metode.
Pertama, ilhaqul masa’il bi nadzairiha, yaitu metode menghukumi sesuatu dengan cara menyamakan masalah yang terjadi sekarang dengan masalah yang sudah disebutkan pakar fikih terdahulu karena adanya kemiripan pada keduanya. Dalam konteks metode ini, penulis belum menemukan teks kitab furu’ yang mirip dengan kasus tambang batubara ini.
Mungkin sebagian aktifis Bahtsul Masa’il mengira ada kemiripan antara masalah tambang dengan masalah amoniak yang disebutkan di beberapa kitab fikih, seperti Tuhfatul Muhtaj, Hasiyata Qolyubi Wa Umairoh, Hasiyah Bujairimi ala Manhaj, dan lain sebagainya. Namun, menurut penulis kedua kasus ini berbeda. Dalam kasus proses pemasakan cairan amoniak bahaya yang dihasilkan langsung bisa dirasakan seketika, tidak jangka panjang. Sedangkan, bahaya yang dihasilkan dari proses penambangan batubara ini bersifat jangka panjang. Tentu ini adalah dua hal yang jauh berbeda.