“Jika ingin tulisan jadi buku, jangan produktif bikin noise, tapi perbanyak voice”
Salah satu penggalan kalimat tersebut menjadi pembuka yang lugas sekaligus merangkum keresahan terkait generasi milenial yang hobi bikin berisik sosial media dengan nyinyiran, keluhan, dan komentar negatif.
Komunikasi baik lisan maupun tulis adalah bagian bekerja dengan bahasa. Dan seperti kata George Saunders, cara tersebut dapat mengidentifikasi omong kosong dalam diri sendiri dan orang lain. Karenanya, Ahmad Rifa’i Rif’an membongkar rahasia dapur kepenulisannya. Tentu bukan bualan belaka. Kiprahnya di dunia kepenulisan dengan buku-buku best seller adalah bukti nyata tulisannya yang terstruktur, penting, serta terpercaya.
Menulis adalah keterampilan yang perlu diasah sepanjang waktu. Seperti keterampilan berbicara yang lahir sejak kecil dari indra pendengar. Menulis serta merta membutuhkan mindset dan prinsip yang ajeg. Saat dihadapkan beragam kendala teknis tak membuat calon penulis sendiri cepat menyerah. Dan gemar membaca bagian dari proses yang harus dimiliki. Asupan agar tulisannya tetap bersinergi dan berkembang. Maka, ide sekecil apa pun sangat penting. Melalui pengolahan yang baik, ide akan berwujud tulisan yang utuh.
Penulis adalah pemerhati yang jeli. Pengalaman, topik, atau hal-hal yang dikuasai jadi jembatan ide agar kerja menulis tidak terasa menjenuhkan. Dalam penyempurnaanya, riset bagian terpenting yang tak terpisahkan baik dalam karya fiksi maupun nonfiksi.
Memang, fiksi cenderung ide khayalan namun tetap memerlukan riset. Tanpa riset tulisan akan hampa, miskin penafsiran dan data. Seperti novel Dee Lestari Partikel, siapa sangka ia butuh membaca 13 referensi buku meski yang diambil hanya sekitar 3 halaman saja.
Pengalaman si penulis sendiri saat menulis buku The Perfect Muslimah memerlukan riset wawancara, pustaka, dan pengalaman sang istri. Tentunya, Internet dapat menjadi media riset. Namun, calon penulis harap waspada akan beragam website yang tak memiliki kejelasan, mengandung hoaks.