Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki moto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diambil dari kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular abad ke-14. Ungkapan tersebut secara harfiah bermakna ‘berbeda itu, satu itu’. Ungkapan tersebut juga secara kontekstual bermakna ‘meskipun berbeda-beda, pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan’. Ungkapan tersebut menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Persatuan dan kesatuan di Indonesia salah satunya diwujudkan dalam sikap dan perilaku toleran terhadap keberagaman tersebut. Namun, suasana keberagaman yang ada di Indonesia terancam dengan adanya radikalisme, terorisme, dan intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Radikalisme dan terorisme merupakan dua paham yang memiliki keterkaitan dan dapat menjadi ancaman nyata bagi generasi penerus bangsa. Menurut Cambridge Dictionary (2016), radikalisme adalah “believing or expressing the belief that there shoul be great or extreme social or political change”. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring) mendefinisikan kata radikalisme sebagai nomina (kata benda) yang memiliki tiga makna, yaitu: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Berdasarkan pengertian tersebut, radikalisme dapat dibedakan menjadi dua level, yaitu level pemikiran (though) dan level aksi (action). Pada level pemikiran, radikalisme masih berupa konsep, gagasan, dan wacana, sedangkan pada level aksi sudah berada pada ranah politik dan keagamaan.
KH Hasyim Muzadi (Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) berpendapat bahwa perlu dibedakan antara “radikal” dan “radikalisme”. Seseorang yang berpikir radikal dengan tujuan untuk berpikir mendalam sampai ke akar-akarnya sangat diperbolehkan dalam Islam. Hanya, pemikiran tersebut tidak sampai pada tindakan yang dapat menimbulkan keresahan dan kekerasan dalam masyarakat. Sementara radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi paham atau –isme. Biasanya radikalisme akan membuat orang menjadi radikal secara permanen. Radikalisme dapat tumbuh secara demokratis, kekuatan masyarakat, dan teror yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Ideologi dan mazhab pemikiran yang radikal akan membuat seseorang menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan dalam masyarakat.
Seseorang atau kelompok yang radikal secara permanen akan merasa paling benar dan berupaya memaksakan pendapatnya kepada kelompok lain yang dianggap sesat, maka dampaknya adalah konflik dan kekerasan pasti tidak dapat dihindari. Representasi dari pemaksaan radikalisme tersebut akan berujung pada aksi-aksi terorisme. Menurut Eubank dan Weinberg (2006:19), aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaanya yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak sehingga seringkali yang jadi korban adalah warga sipil. Pelaku terorisme dapat bersifat individual, kelompok, bahkan hingga suatu negara yang dikenal dengan terorisme negara.
Radikalisme dan terorisme merupakan dua paham yang sangat mudah menyerang para generasi muda, terutama mereka yang dalam proses memahami agama. Kekeliruan memaknai jihad telah membawa mereka masuk ke dalam ideologi radikal. Bukan ajaran agamanya yang salah, tapi manusianya yang salah dalam memahami ajaran agama yang sebenarnya penuh kedamaian dan toleran. Menurut Misrawi (2010), radikalisme dan terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual dan bernuansa kekerasan.
Data dari Badan Intelijen Negara (BIN) menunjukkan bahwa 39 persen mahasiswa di Indonesia terpapar radikalisme. Hal tersebut harus ditanggapi dengan serius karena radikalisme yang dibiarkan akan mengarah pada aksi terorisme. Kondisi tersebut membuat para orangtua menjadi khawatir karena anak-anak mereka yang sedang kuliah di perguruan tinggi bisa saja menjadi target pemikiran radikalisme dan terorisme. Faktor penyebabnya adalah karena pemahaman agama dan wawasan kebangsaan yang kurang.
Terakhir tiga terduga teroris ditangkap di Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau pada hari Sabtu, 2 Juni 2018 (Sumber: Tempo Daring, 2018). Tiga terduga teroris ini merpukan alumni Universitas Riau. Penangkapan ini dilakukan tidak lama setelah serangan teroris di Markas Kepolisian Polda Riau pada 16 Mei 2018 yang menewaskan empat pelakunya. Penangkapan ini merupakan bentuk afirmasi dari hasil penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang radikalisme di kampus. Dalam majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juli 2018, BNPT menyebutkan bahwa lingkungan kampus di Indonesia sudah terpapar radikalisme sejak 30 tahun yang lalu. Sementara penelitian Alvara Research Center pada Oktober 2017 yang menggunakan 1.800 responden di 25 universitas seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa 23,5 persen menyetujui gerakan Negara Islam Irak dan Suriah, dan 23,4 persen menyetujui kesiapan untuk berjihad mendirikan khilafah.
Sejak awal, komitmen perjuangan Islam adalah dengan jalan damai. Tidak ada pemaksaan. Dalam menghadapi kemungkaran, Islam telah mengajarkan solusi pemecahannya. Pertama, Islam menyarankan untuk mengubah kemungkaran itu dengan tangan atau dengan kekuatan. Kedua, dengan lisan. Ketiga, dengan hati. Di Indonesia yang mayoritas pendudukanya muslim juga memiliki karakter tersendiri dan hidup dalam heterogenitas aliran. Terdapat kelompok Islam marah tapi juga ada kelompok Islam ramah. Terdapat kelompok Islam garis keras tapi juga ada kelompok Islam toleran (moderat).
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, agama, dan bahasa daerah. Masyarakat Indonesia dalam sejarah merupakan bagian masyarakat budaya Nusantara. Sejak berabad-abad bangsa Indonesia dimasuki oleh kebudayaan dari “Utara”, seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Berbagai kajian filologis memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mampu menyerap, tetapi juga mampu mengolah arus kebudayaan dari luar sehingga menjadi milik sendiri tanpa kehilangan akarnya. Sementara itu, dalam kajian filologis terekam bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki episteme, yakni “toleransi” dan “kemampuan mengadaptasi”. Dewasa ini, warisan budaya yang sangat berharga itu cenderung dilupakan. Istilah toleransi sering diucapkan, tetapi makin kurang dipahami maknanya dan bahkan praktik sosial sejauh ini memperlihatkan berbagai tindakan yang justru tidak toleran. Tawuran antarkaum, baik yang berlatar suku bangsa, agama, dan kelompok kepentingan yang lain (termasuk mahasiswa dan pelajar) makin sering terjadi. (Hoed, 2016).
Konflik etnis dan agama yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia memperlihatkan bahwa konsep toleransi yang sudah dibangun selama ini sudah mulai dilupakan. Saat ini telah terjadi dikotomi antara etnis pribumi dan nonpribumi. Polarisasi terjadi antarkelompok yang mengakibatkan kemunculan saling-merasa bahwa kelompoknya paling benar dibandingkan kelompok yang lain. Intoleransi terjadi tidak hanya terjadi dalam kelompok antarumat beragama, melainkan juga terjadi antarorganisasi masyarakat (ormas), penggembira sepakbola, organisasi politik, hingga anggota DPR RI tingkat pusat maupun daerah.
Masih teringat jelas dalam ingatan kita bagaimana kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah, GKI Yasmin, tawuran antarpenggembira klub sepakbola, isu pertentangan antara kelompok Sunni dan Syiah, serta isu SARA yang digunakan dalam Pilkada. Itu semua membuktikan bahwa toleransi tidak terlihat dan tidak diterapkan dalam praktik sosial di Indonesia.
Di era milenial ini, ancaman radikalisme, terorisme, dan intoleransi tersebut semakin mudah dilakukan dengan menggunakan sosial media. Ketiga ancaman tersebut sudah tidak hanya berada pada level pemikiran (though), tapi berada pada level aksi (action). Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana harusnya sikap para generasi muda, terutama para intelektual muda NU dalam menghadapi ancaman radikalisme, terorisme, dan intoleransi di era milenial ini.
Pembahasan
Bangsa Indonesia memiliki berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan. Berbagai macam konflik terkait perbedaan suku, agama, ras, dan golongan yang terjadi adalah masalah utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga saat ini. Di sisi lain masalah radikalisme, terorisme, dan intoleransi menjadi ancaman yang serius bagi generasi penerus bangsa. Pada tulisan ini, saya menggunakan data transkripsi pidato kebangsaan dan ceramah keagamaan KH.A. Hasyim Muzadi (yang selanjutnya disingkat AHM) dalam kurun waktu tahun 1999—2017. Pemilihan data dalam kurun waktu tersebut digunakan sebagai data dengan asumsi bahwa AHM sering melakukan kegiatan ceramah keagamaan di berbagai tempat dan daerah di Indonesia. Selama kurang lebih 10 tahun menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, AHM memiliki pengalaman untuk mengatasi berbagai macam konflik karena perbedaan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan beragama, termasuk masalah radikalisme, terorisme, dan intoleransi. Saya berasumsi bahwa sebagai Ketua Umum PBNU yang merupakan salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, apa yang disampaikan AHM dalam ceramah keagamaan dilatari oleh pengalamannya melihat berbagai permasalahan sosial masyarakat pada waktu dan kesempatan yang berbeda. Tidak hanya ceramah keagamaan, AHM juga banyak melakukan kegiatan pidato kebangsaan dalam kapasitasnya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2015—2017). Berdasarkan itulah, penelitian ini bermaksud untuk menemukan solusi dari berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia, termasuk masalah radikalisme, terorisme, dan intoleransi.
Penelitian ini menggunakan metode gabungan. Litoselliti (2010:33) berpendapat bahwa metode gabungan dapat memberikan konstribusi pada pemahaman tentang beragam fenomena yang diinvestigasi secara lebih komprehensif. Dalam metode gabungan tersebut, analisis kualitatif digunakan untuk menyimpulkan hasil-hasil penelitian, sedangkan pendekatan kuantitatif sangat bermanfaat dalam hal penyediaan data yang relatif banyak dan menyeluruh.
Berdasarkan hasil penelitian sementara yang saya lakukan dengan mengumpulkan teks pidato dan ceramah AHM yang diolah menggunakan pengolah data korpus linguistik AntConc (Gambar 1) menunjukkan satu buah kalimat, yakni “yang kita perlukan adalah kejernihan agama”. Dalam kalimat tersebut terdapat kata kunci, “kejernihan agama”. Melalui analisis bahasa (linguistik), kata agama berkonfigurasi dengan kata kejernihan membentuk frasa nomina kejernihan agama. Kata kejernihan yang berkategori sebagai nomina merupakan bentuk derivasi dari kata jernih yang secara morfologis berkategori sebagai adjektiva. Kata jernih memiliki makna leksikal ‘tidak kacau; runtut (tentang jalan pikiran dan sebagainya)’ (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jernih). Konstruksi frasa kejernihan agama dibangun dari kata agama sebagai inti frasa dan kata kejernihan sebagai pemeri. Berdasarkan hubungan antara kedua kata tersebut, bentuk frasa nomina kejernihan agama memiliki makna semantis, yaitu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta manusia dan lingkunganya dengan tujuan agar membuat kehidupan tidak kacau. Secara kontekstual, AHM menekankan bahwa kejernihan agama merupakan solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Peneliti menemukan bahwa AHM mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjalankan ajaran atau sistem kepercayaan yang dianut dan diyakini masing-masing dengan jernih agar tidak terjadi kekacauan. Gagasan tersebut ditunjukkan oleh AHM melalui analisis kata kunci yang berupa frasa nomina kejernihan agama. Kemunculan frasa nomina kejernihan agama merupakan bagian dari proses relasional yang dialami oleh AHM. Fungsi ideasional dan interpersonal menunjukkan bahwa AHM menekankan peran subjek atau pelaku yang ditandai oleh pronomina kita. AHM menekankan bahwa seluruh elemen masyarakat dan pemerintah bersama-sama untuk menjalankan agama dengan jernih. Fungsi tekstual menjelaskan bahwa AHM sebagai seorang tokoh agama merasa ikut bertanggung jawab atas berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan beragama di negara Indonesia.
Temuan tersebut dikuatkan dengan pendapat AHM yang mengatakan bahwa NU lebih memilih “jihad atau perang diplomasi” yang bisa dilakukan dengan mengeluarkan pernyataan antiteroris dan antikekerasan (Aula, 2002). Cara tersebut akan lebih efektif dan tepat sasaran. Kewajiban para pemimpin Islam adalah mengajak untuk melawan segala bentuk kemungkaran dengan cara-cara yang damai. Tidak harus dengan cara melakukan pengrusakan dan menghunuskan pedang. Hukum memang harus ditegakkan, tapi penegakan hukum harus dibingkai dengan peraturan yang telah menjadi kesepakatan para pemimpin negara. Apalagi jika hidup di Indonesia, di mana segala peraturan dan perundangan yang berlaku sudah cukup baik. Hanya saja, harus diikuti dengan keseriusan aparat penegak hukum dengan memberikan hukuman sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan. Artinya, NU lebih mengutamakan dialog dan cara-cara yang damai dibandingkan dengan tindakan kekerasan dan melawan hukum.
Kesimpulan
Oleh karena itu, sebagai intelektual muda NU, maka yang diperlukan adalah pemikiran yang jernih dan tindakan yang menjernihkan. Pemikiran yang jernih berarti pemikiran yang tidak membuat kacau, tidak mudah percaya dengan berita palsu (hoax), tidak terprovokasi, dan tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat memecah belah umat dan bangsa. Pemikiran yang jernih berarti mampu menahan diri untuk selalu mengedepankan kemaslahatan umat dan bangsa dibandingkan kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan.
Sementara itu, pemikiran yang jernih akan membawa pada tindakan yang menjernihkan. Jika ada yang memprovokasi, maka tidak akan mudah terpancing emosi. Jika ada yang menyebarkan berita palsu (hoax), maka tidak akan mudah percaya sebelum klarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu. Jika ada konflik dan perpecahan, maka akan mendamaikan dan mempersatukan. Dengan demikian tidak akan ada lagi pemikiran dan tindakan yang radikal, tindakan/ aksi teror, dan sikap intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Referensi
Aula, 2002. Majalah Nahdlatul Ulama. Surabaya: Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Eubank, William Lee and Weinberg, Leonard. What is Terrorism?. New York: Infobase Publishing.
Hasan, Ahmad Millah. (2018). Biografi A. Hasyim Muzadi Cakrawala Kehidupan. Depok: Keira Publishing.
Hoed, Benny H. (2016). Amnesia Budaya sebagai Gejala Krisis dalam Kebudayaan Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Inaugurasi di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta.
Litosseliti, L. (2010). Research method in Linguistics. London & New York: Continuum International Publishing Group.
Misrawi, Zuhairi. (2010). Pandang Muslim Moderat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sumber Elektronik
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
https://fokus.tempo.co/read/1094969/penangkapan-di-universitas-riau-dan-radikalisme-di-kampus