Menolak Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa dengan dalih karena bertentangan dengan ajaran Islam, adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal, tidak berdasar dan sekaligus arogan. Apalagi, bercita-cita mengganti Pancasila, misalnya dengan sistem khilafah ala mereka (kelompok radikal terorisme) melalui praktik tak manusiawi: memaksakan kehendak, teror hingga aksi bom bunuh diri, yang hanya akan melahirkan perpecahan di antara umat manusia, baik Islam sesama Islam maupun Islam dengan non-muslim. Sungguh kondisi yang memilukan.
Sekira Pancasila dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, tidaklah para ulama terutama Nahdlatul Ulama (NU) yang kealiman dan kedalaman ilmu di bidang agama tidak menggubris atau mendiamkan hal ihwalnya tetap eksis sampai kiwari. Sebaliknya, mereka secara tegas dan lugas mengamini Pancasila sebagai asas tunggal yang wajib diikuti, dirawat, dan jalankan oleh seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sikap ulama NU menerima Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa disampaikan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas NU), tepatnya di Sukorejo, Situbondo pada tahun 1983 yang kemudian menjadi keputusan resmi NU. Tidaklah mengherankan, jika warga Nahdliyin acapkali menolak bahkan berada di garda terdepan ketika ada kelompok yang menyoal kembali hubungan Pancasila dan Islam. Apalagi bercita-cita mengganti ideologi Pancasila kepada ideologi lain; khilafah islamiyah sebagaimana marak terjadi belakangan di negeri ini.
Jadi, jelaslah bahwa antara Pancasila dan ajaran Islam pada hakikatnya selaras dan memang demikian adanya. Sebab, nilai-nilai serta aspirasi Islam telah tercover di dalam kelima sila Pancasila. Sehingga, tidak perlu bahkan tidak boleh ada aspirasi lagi untuk menolak, mempertentangkan, dan berhasrat mendirikan negara Islam atau menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Kalaupun dipaksakan ada akan menimbulkan perpecahan. Bukan hanya melibatkan kelompok muslim dan non-muslim, tetapi juga perpecahan di antara umat Islam sendiri.
Walaupun para ulama telah berkonsensus akan Pancasila dan Islam, namun satu hal yang menurut saya sangat urgen –nyaris terabaikan– dilakukan seluruh warga negara Indonesia: bagaimana menjadikan Pancasila sebagai way of life (pandangan hidup). Artinya, Pancasila tidak sekadar dijadikan semboyan, kebanggaan, dan dalih menolak formalisasi syariat Islam (negara Islam). Akan tetapi, laku hidup sehari-hari haruslah mencerminkan nilai-nilai dari kelima sila Pancasila. Saya kira, inilah yang dicita-citakan para pendiri dan pejuang bangsa ini.
Sudah mafhum bahwa kelima sila Pancasila di dalamnya sarat akan nilai-nilai etik-moral dan spiritual. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengajarkan betapa pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai keyakinan setiap umat beragama. Bahkan, masing-masing pemeluk agama dilarang untuk memaksa penganut agama lain mengikuti agamanya. Tentu tujuan utama adalah terciptanya kehidupan yang rukun, damai, harmonis, dll.
Saking pentingnya menghormati dan menghargai keyakinan agama lain, di dalam Alquran Surat Al-An’am [7]:108 dinyatakan secara tegas dan lugas, yaitu:
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini mengajarkan bahwa setiap manusia –tanpa memandang identitas primordial yang disandang– memiliki status dan derajat yang sama. Bersimpati antara satu sama lain merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditampik walaupun itu oleh negara. Hal ini selaras dengan pernyataan Alquran dalam Surat Al-Hujurat [49]:13 yakni:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Ketiga, Persatuan Indonesia. Jelas sila ini meniscayakan persatuan dan kesatuan serta mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi masing-masing warga negara. Apalagi, Indonesia dikenal sebagai negara plural dan multikultural dengan beragam agama, suku, etnis, budaya, bahasa hingga ragam pulau. Lebih dari itu, setiap warga negara harus rela berkorban demi negara serta mencintai Tanah Air.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi antar setiapwarga negara. Sekalipun terdapat perbedaan pendapat dan cara pandang, maka bisa diselesaikan dengan bermusyawarah atau dialog.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini mengajarkan pentingnya bersikap adil, terbuka, dan saling memahami antara hak dan kewajiban masing-masing dari setiap warga negara agar tidak melanggar terhadap hak-hak orang lain, yang berimplikasi pada lahirnya perpecahan, permusuhan, dan peperangan sesama.
Pesan etik-moral dari kelima sila tersebut hanya akan menjadi bualan semata, jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Walau terasa sulit dan berat, tetapi itulah cara terbaik mengampanyekan eksistensi Pancasila. Dan, hal ini mesti berawal dari diri sendiri kendati tak semua (kelima sila) diimplementasikan. Sebab, keteladanan lebih mudah diterima ketimbang ucapan. Dengan demikian, keutuhan dan kesatuan NKRI yang selama ini dicita-citakan bisa terwujud. Inilah hakikat sebenarnya dari Pancasila. Wallahu A’lam.