Isu wayang kembali menjadi bahan perbincangan publik. Bergulir menggantikan isu “tendang sesajen musyrik” dan “sang Ustazah dengan riwayat KDRT yang menjadi polemik”.
Kita menyadari ada banyak paham kontroverial dengan penggunaan dalih keagamaan di belakangnya sudah biasa berseleweran dalam paham keislaman. Tidak jarang budaya yang melekat dalam kehidupan bangsa sebagai warisan peradaban nenek moyang dibenturkan dengan paham keberagamaan.
Adalah seorang ustaz yang belakangan ini juga ramai menjadi perbincangan publik karena konstansi pemahamannya terhadap wayang yang menggelitik dan mengundang polemik. Kira-kira premis yang dipersoalkan dari pernyataan sang ustaz adalah, “Wayang merupakan peninggalan nenek moyang yang bisa dikenang sebagai tradisi orang dulu. Tetapi bukan berarti harus dilakukan, dalam Islam dilarang sehingga harus ditinggalkan,”
Sang ustaz memahami wayang (budaya) dan Islam adalah dua hal yang bertentangan. Sehingga dia mengajak para dalang bertobat nasuha dengan meninggalkan kegiatan wayangan. Meski di satu sisi terdapat pengakuan wayang menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa, tendensi pemusnahan terhadap wayang yang eksis hingga saat ini sangat kentara dalam ungkapan sang Ustaz. Baginya, wayang dalam paham keislaman kita adalah dengan ditanggalkan.
Wayang yang Multidimensional
Hukum wayang hingga saat ini masih belum ditemukan kesepakatan yang final di kalangan para ulama. Wayang dengan varian hukum yang beragam sebenarnya didorong oleh sifatnya sendiri yang multidimensional. Awalnya, wayang dianggap haram karena dipersonifikasi dengan makhluk hidup (manusia). Dahulunya wayang memang secara sengaja dibentuk menyerupai wujud manusia untuk mendongengkan dewa atau raja, seperti lakon Bima Suci.
Jelas keharaman wayang disebabkan menyerupai manusia dalam bentuk tiga dimensi (wayang, patung). Hal ini dipertentangkan dengan hadits nabi yang sering dipakai oleh ulama-ulama keras tentang lukisan dan gambar yang menyerupai makhluk bernyawa:
Dari hadis Ibnu ‘Abbas ra., beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
من صوَّرَ صورةً في الدُّنيا كلِّفَ يومَ القيامةِ أن ينفخَ فيها الرُّوحَ ، وليسَ بنافخٍ
“Barang siapa yang di dunia pernah menggambar gambar (bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan hadis dari ‘Aisyah ra., ia berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل، فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم تلون وجهه، وقال: “يا عائشة، أشد الناس عذاباً عند الله يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله”، فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين
“Rasulullah Saw. pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan gorden yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “Wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingin ciptaan Allah“. Lalu aku memotong-motongnya dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, hukum wayang menjadi boleh (mubah) seiring restorasi bentuk wayang berupa sketsa-sketsa yang pertama kali dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena kebutuhan metode dakwah dalam proses islamisasi di bumi nusantara. Sejak restorasi wayang pada masa itu, ulama memberikan suatu pembolehan karena sesuai dengan hadits nabi “ ballighu ‘anni walau aayah” (sampaikan dariku walaupun satu ayat) dengan pendekatan kultural yang sangat jauh dari kekerasan.
Mengutip pandangan KH Mustofa Bisri (Gus Mus): “Wayang tidak bisa disamakan dengan manusia. Tidak ada manusia yang tangannya melebihi dengkul seperti tangan wayang. Tidak ada juga manusia yang tubuhnya gepeng seperti wayang. Tapi, orang yang menonton merasa itu manusia, itu luar biasa,”.
Wayang Media Dakwah
Wayang sendiri sebagai fenomena budaya sudah ada sebelum Islam datang ke Nusantara. Prosesnya berakulturasi dari masa ke masa dengan terminan paham yang berbeda pula. Wayang sejak pupulernya di era dinamisme-animisme menjadi personifikasi roh-roh yang menyimpan kekuatan gaib, beralih pada era Hinduisme dan Bhudisme yang menjadikan wayang sebagai media dongeng dewa-dewa, hingga pada eranya Islam juga menerima wayang sebagai media dakwah keislaman oleh mujahid di masanya, seperti dakwah Sunan Kalijaga di Pulau Jawa (Teguh, 2007).
Akibatnya, karena konstruksi bingkai kebudayaan yang dipelopori oleh para mujahid, Islam bisa diterima secara suka rela oleh rakyat pribumi. Entitas keislaman menunjukkan keharmonisan baik hubungannya dengan ilahiyah dan insaniyah. Ajaran Islam dinamis melampaui masa dan ruang, menanggalkan purifitas lokal di mana Islam diturunkan (budaya Arab, arabisasi). Hingga Islam memasuki ruang Nusantara, pribumisasi menjadi semangat dakwah dengan paham Islam Nusantara.
Akhirnya, wayang adalah bentuk akumulasi pengalaman bangsa dalam mengekspresikan pengetahuan dan kesenian. Sejatinya, wayang adalah persepsi kultural yang memberikan bingkai maknawi bagi peminatnya. Hadirnya Islam berakulturasi dengan wayang menjadikan kebudayaan nusantara kembali hadir bernafaskan nilai-nilai keislaman. Hukum wayang boleh saja dipertentangkan, tapi menyikapi wayang sebagai identitas bangsa jangan sampai ditinggalkan, apalagi dimusnahkan.
Mengutip adagium bijak, “Budaya (wayang) itu adalah identitas diri, bagaimana suatu bangsa akan maju jika lupa dengan identitasnya sendiri (?)”.