Menyalakan Kembali Api Pancasila dari Akar Budaya Nusantara

Di tengah menguatnya polarisasi sosial dan pudarnya semangat kebersamaan, Pancasila kembali menjadi bahan renungan bagi banyak kalangan. Nilai-nilai kebangsaan yang dahulu tumbuh dari akar budaya Nusantara kini kerap dipahami secara formal dan administratif. Padahal, dalam konteks sejarah dan kebudayaan Indonesia, Pancasila bukan sekadar ideologi negara, melainkan pandangan hidup yang bersumber dari pengalaman kultural masyarakat.

Kesadaran itulah yang mengemuka dalam diskusi buku Menggali Api Pancasila: Catatan dari Anjangsana Kebangsaan karya Dr Ngatawi Al-Zastrouw, yang digelar dalam rangkaian acara “Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025” di Makara Art Center, Universitas Indonesia, Selasa (28/10).

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Acara yang diinisiasi Komunitas Semaan Puisi bekerja sama dengan Makara Art Center, Karang Taruna 08 Taman Serua Depok, dan jejaring duniasantri ini menghadirkan pembicara Dekan Fakultas Ilmu dan Budaya UI Dr Bondan Kanumoyoso, akademisi Darmawati Majid, dan Ngatawi Al-Zastrouw sendiri, yang tak lain adalah Direktur Kebudayaan UI. Diskusi dipandu Sarah Monica.

Ruh Nusantara di Balik Lima Sila

Dalam paparannya, Bondan Kanumoyoso menilai buku karya Zastrouw itu sebagai upaya menggali kembali makna kebangsaan dari akar kebudayaan. Menurutnya, buku Menggali Api Pancasila bukan laporan perjalanan intelektual semata, melainkan usaha merevitalisasi Pancasila sebagai living philosophy — falsafah hidup yang tumbuh dari keseharian rakyat.

“Pancasila tidak lahir di meja politik, melainkan di sawah, di lumbung, dan dalam ritus masyarakat Nusantara,” ujar Bondan.

Ia juga menegaskan, nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, dan harmoni dengan alam telah menjadi fondasi kehidupan bersama jauh sebelum Pancasila dirumuskan secara politik pada 1945.

Bondan menelusuri bagaimana Zastrouw menghadirkan kembali nilai-nilai itu dari berbagai daerah: semangat kolektivitas masyarakat Sunda di Jawa Barat, keseimbangan kosmik Tri Hita Karana di Bali, solidaritas sosial di Nusa Tenggara Timur, dan religiositas yang berpadu dengan kemanusiaan di Jawa Tengah. Semua menunjukkan bahwa Pancasila berakar pada kesadaran budaya yang hidup.

Dialog Lintas Tradisi dan Agama

Dalam tanggapannya, Ngatawi Al-Zastrouw menjelaskan bahwa buku tersebut merupakan hasil dari perjalanan intelektual sekaligus spiritual menelusuri nilai-nilai kebangsaan di berbagai daerah.

“Kebangsaan Indonesia dibangun bukan dari keseragaman, melainkan dari perjumpaan antarmanusia, antartradisi, dan antariman,” ujarnya.

Ia menambahkan, revitalisasi Pancasila seharusnya dimulai dari kebudayaan, bukan semata dari kebijakan politik. “Kalau kesadaran kultural hilang, Pancasila akan kehilangan ruhnya. Ia hanya tinggal simbol tanpa makna,” tegasnya.

Melihat ke Selatan

Pandangan lain datang dari akademisi dan esais Darmawati Majid, yang mengajak peserta melihat Pancasila “dari selatan” — metafora bagi akar kehidupan rakyat. Dalam pembacaannya, nilai-nilai kebangsaan sesungguhnya tumbuh dari bawah, dari masyarakat yang mempraktikkan gotong royong, kejujuran, dan solidaritas dalam keseharian.

Ia menyoroti nilai-nilai budaya Bugis-Makassar yang mencerminkan sila kedua dan keempat Pancasila. Sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling menghormati), dan sipakainge (saling mengingatkan) menjadi dasar etika sosial yang kuat. Tradisi tudang sipulung — duduk bersama untuk bermusyawarah — menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sejatinya lahir dari budaya, bukan dari teori Barat.

“Nilai-nilai ini membuktikan bahwa Pancasila bukan sekadar produk politik. Ia hidup dalam etika sosial yang dijalani masyarakat selama berabad-abad,” ujarnya.

Pancasila di Era Digital

Dalam diskusi, para pembicara juga menyinggung tantangan Pancasila di tengah era digital. Media sosial, yang semestinya menjadi ruang baru kebersamaan, justru sering menjadi arena polarisasi.

Menurut Darmawati, nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, kejujuran, dan toleransi harus diterjemahkan ke dalam etika digital. “Solidaritas tidak berhenti di dunia nyata. Ia harus hadir juga di ruang maya,” katanya.

Zastrouw menambahkan, “Pancasila tidak boleh hanya menjadi materi pelajaran, tetapi harus menjadi cara berpikir — baik di dunia nyata maupun di ruang digital.”

Api yang Menyala dari Rakyat

Sementara itu, Ngatawi Al-Zastrouw, penulis buku Menggali Api Pancasila dengan menyampaikan bahwa: “Pancasila bukan milik negara semata, melainkan milik rakyat — hidup di ladang, di rumah, dan di napas kebudayaan.”

Kalimat itu menjadi gema penutup sore di Makara Art Center. Bagi para peserta, Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 kali ini tidak hanya menjadi forum refleksi intelektual, tetapi juga ruang perenungan tentang kebangsaan sebagai laku kebudayaan.

“Menjaga Pancasila berarti menjaga akar,” ujar Bondan sebelum meninggalkan ruangan. “Selama akar itu hidup di masyarakat, api kebangsaan tidak akan padam.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan