Menyelami “Kiri Islam” Hassan Hanafi: Relevansinya di Masa Kini

Di dunia yang kian dihegemoni oleh ketimpangan dan dominasi struktural, muncul satu gagasan berani dari belahan dunia Islam: Kiri Islam. Sebuah frasa yang mungkin terasa janggal bagi sebagian kalangan, karena menyandingkan dua kutub yang kerap dianggap saling menafikan: Islam dan kiri. Namun, bagi Hassan Hanafi, pemikir revolusioner asal Mesir, justru dalam perjumpaan itulah Islam menemukan kembali roh keadilannya.

Melalui buku Kiri Islam (Al-Yasār al-Islāmī), Hassan Hanafi merumuskan sebuah Islam yang tidak hanya transenden, tetapi juga membumi. Islam bukan hanya agama ritual, melainkan juga proyek pembebasan. Islam, dalam nalar Hanafi, adalah keberpihakan. Bukan kepada kekuasaan atau status quo, tapi kepada mereka yang tertindas, terpinggirkan, dan dilupakan sejarah.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Dari Kairo Menuju Dunia Ketiga

Lahir di Kairo pada 1935 dan menjadi profesor filsafat di Universitas Kairo, Hanafi menempuh pendidikan Barat dan Timur sekaligus. Ia bukan hanya membaca Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, tetapi juga Hegel, Marx, hingga Derrida. Dari sintesis inilah muncul proyek besar: menjadikan Islam sebagai kekuatan etis-politik yang revolusioner.

Dalam konteks Dunia Ketiga—terutama dunia Islam pascakolonial—Hanafi menyaksikan bagaimana umat Islam sering kali terperangkap dalam wacana teologis yang steril dari realitas sosial. Ia menolak teologi yang hanya melayani elit agama dan negara, dan menggagas Islam yang berpihak: pada rakyat, pada keadilan, pada kebebasan.

Tafsir yang Membebaskan

Hassan Hanafi tidak sekadar membuat manifesto ideologis. Ia menyusun kerangka epistemologis yang kokoh. Dalam buku Kiri Islam, terdapat tiga pilar utama yang menjadi fondasi pemikiran radikalnya.

Pertama, kritik atas tradisi. Tradisi tidak harus dibuang, tetapi harus dikritisi. Hanafi tidak anti-turats (warisan klasik), tapi ia menolak penyembahan atas teks tanpa konteks. Ia menyaring nilai-nilai spiritual, tetapi menolak konservatisme yang membuat Islam kaku dan ahistoris.

Kedua, dialog dengan Barat dan modernitas. Ia menyadari pengaruh kolonialisme Barat, tetapi tidak mengeneralisasi. Demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan berpikir adalah produk modernitas yang bisa disinergikan dengan semangat Islam. Hanafi menunjukkan bahwa Islam bukan antitesis modernitas, melainkan bisa menjadi mitra kritisnya.

Ketiga, Islam sebagai revolusi sosial
Di sinilah letak kekuatan Kiri Islam. Bagi Hanafi, Islam harus tampil sebagai kekuatan revolusioner—bukan hanya di masjid, tetapi di jalanan, di pasar, di desa-desa, di tengah rakyat. Islam adalah daya pembebas. Ia memanggil umat untuk menolak kemiskinan sebagai takdir dan menantang kekuasaan yang menindas dengan dalih agama.

Kiri Islam di Pesantren 

Buku Kiri Islam pertama kali diterbitkan di Indonesia pada 1993 oleh LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), sebuah lembaga yang dikenal dekat dengan kalangan pesantren progresif dan gerakan sosial Islam. Melalui penerjemahan dan diskusi terbuka, pemikiran Hanafi masuk ke ruang-ruang pesantren, kampus, hingga diskursus aktivisme Islam.

Di Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Hasyim Muzadi, hingga generasi intelektual muda yang secara tidak langsung mengadopsi gagasan Kiri Islam: Islam yang kritis, egaliter, dan peduli pada nasib kaum marginal.

Kita bisa melihat pengaruh Kiri Islam dalam kerja-kerja sosial berbasis pesantren, semisal advokasi petani, buruh, atau penguatan perempuan akar rumput. Spirit Hanafi hidup dalam prinsip “Islam rahmatan lil alamin” yang tidak hanya berkutat di khutbah mimbar, tetapi juga di kebun, di sawah, di pabrik, dan di lorong-lorong kota.

Kiri Islam di Era Digital

Hari ini, tantangan baru muncul: teknologi dan kapitalisme digital menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan baru. Eksploitasi tidak lagi hanya berbentuk feodalisme, tetapi juga platformisasi kehidupan. Di sinilah pemikiran Hassan Hanafi kembali relevan.

Islam sebagai proyek etis tidak boleh tunduk pada algoritma yang kapitalistik. Islam tidak boleh menjadi sekadar simbol politik identitas yang dijajakan di bilik suara. Islam harus kembali menjadi ethos perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang kini kian canggih dan kasat mata. Membaca “Kiri Islam” adalah menghidupkan kembali fungsi kritis agama. Ia bukan doktrin yang meninabobokan, tapi nyala api yang membakar ketidakadilan.

Santri, Tafsir, Tindakan 

Untuk para pembaca duniasantri.co—terutama santri yang sedang tumbuh dalam iklim pesantren yang lebih terbuka dan reflektif—buku ini bukan sekadar bacaan filsafat politik, tetapi undangan. Undangan untuk berani berpikir di luar pakem, mengkritisi kemapanan, dan menjadikan Islam sebagai kekuatan yang berpihak pada yang lemah.

Sebagaimana pesan dalam Kiri Islam, “Agama tanpa keadilan hanyalah tirani yang disucikan.” Maka tugas kita, para pembaca dan perenung, bukan hanya mengkaji ayat dan hadis, tetapi juga membaca realitas, mengurai ketimpangan, dan menjawabnya dengan iman yang beraksi.

Referensi:

Hanafi, Hassan. Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Diterjemahkan oleh Tim LKiS. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Kazuo, Shimogaki. Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. “Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi.” Diakses 30 Juli 2025. https://bintangpusnas.perpusnas.go.id/konten/BK38143/kiri-islam-antara-modernisme-dan-postmodernisme-telaah-kritis-pemikiran-hassan-hanafi

STIT INSIDA. “Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi.” Al-Qalam: Jurnal Keislaman dan Pendidikan 6, no. 1 (2022). Diakses 30 Juli 2025. https://www.journal.stit-insida.ac.id/index.php/alqalam/article/download/55/52

UI Library. “Kiri Islam – Koleksi Perpustakaan Universitas Indonesia.” Diakses 30 Juli 2025. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20209434&lokasi=lokal

Multi-Page

Tinggalkan Balasan