Kiwari ini, semangat dakwah yang harusnya berorientasi pada mencerdaskan kehidupan umat, jadi kehilangan ruh. Akibatnya, dakwah kebencian pun menjadi lazim. Umat dicekoki permusuhan dan diajak rebutan merasa paling benar. Hal ini seiring dengan munculnya para pendakwah instan yang sebelumnya tidak kita ketahui di mana belajarnya, tiba-tiba menyembul ke permukaan dan fasih mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Belum lagi meruahnya para pendakwah mualaf dan pendakwah yang baru saja hijrah. Sejatinya, dakwah itu baik dan penting. Namun, menjadi soal lain jika tanpa musabab yang mendesak, seorang pendakwah mualaf secara tiba-tiba menghina keyakinan lamanya. Bisa dicek di mesin pencarian Youtube, betapa dai mualaf tersebut tampak berapi-api melegetimasi agama barunya dengan merendahkan agama lamanya.
Model dakwah yang menjurus kepada kemarahan ini sangatlah jauh dari keramahan. Barangkali juga tidak terlintas dalam pikiran mereka bagaimana cara ampuh membangkitkan simpatik umat. Sehingga jalan dakwah yang mereka tempuh dengan membenci bukan memuji, memukul bukan merangkul, serta menginjak bukan mengajak, akhirnya tidak diminati umat.
Hadirnya buku Apa Agama Teroris? ini, menyibak kekakuan gaya dakwah para dai yang akhir-akhir ini kian santer diperbincangkan di berbagai media dan meja diskusi. Anwar Kurniawan selaku penulis mengajak kita untuk kembali kepada kesadaran dakwah yang santun, lembut, dekat, dan membekas di hati umat.
Di dalam buku ini, Anwar Kurniawan berkisah setidaknya tiga figur ulama Nusantara yang berdakwah dengan arif, serta menyikapi kompleksnya realitas sosial dengan bijaksana.
Pertama, kisah seorang kiai yang diminta untuk mensalatkan jenazah temannya yang nonmuslim. Tentu saja situasi ini cukup dilematis. Mau disalatkan, tapi yang meninggal nonmuslim. Sementara, jika tidak takziah, tentu tidak elok pula, karena yang meninggal adalah teman karibnya.
Singkat kisah, kiai tersebut mengajak beberapa santrinya menuju rumah duka. Tidak dinyana, kiai itu tetap menunaikan salat di sana. Banyak orang tercengang, termasuk salah seorang dari keluarga duka.