Tragedi runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban, masyarakat, dan dunia pendidikan Islam. Namun, di balik kepedihan itu, muncul pula diskursus penting: bagaimana seharusnya umat Islam memahami peristiwa seperti ini — apakah cukup disebut sebagai takdir Allah, ataukah ada tanggung jawab manusia yang menyertainya?
Pernyataan pengasuh pesantren, KH Ahmad Zaini Al-Khoziny, bahwa “ini sudah takdir Allah,” adalah bentuk keteguhan iman dan ketenangan hati di tengah musibah. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat menilai bahwa penyebab runtuhnya bangunan juga perlu dilihat secara objektif: apakah terdapat kesalahan konstruksi, kelalaian teknis, atau pengawasan yang lemah? Di sinilah Islam menghadirkan keseimbangan antara iman kepada takdir dan pertanggungjawaban manusia.

Sejak masa awal Islam, persoalan hubungan antara kehendak Allah dan perbuatan manusia telah melahirkan perdebatan teologis. Kaum Jabariyah, yang berkembang di masa Bani Umayyah, menafsirkan takdir secara fatalistik: manusia tidak memiliki kehendak apa pun selain kehendak Allah. Akibatnya, konsep tanggung jawab moral dan hukum menjadi kabur
Dalam konteks sosial, ucapan “ini sudah takdir Allah” seharusnya dipahami sebagai ungkapan kesabaran spiritual, bukan justifikasi atas kegagalan struktural dan teknis. Artinya, iman kepada qadar tidak boleh menjadi alasan untuk menolak tanggung jawab atau menutup mata terhadap kelalaian
Dalam al-Fiqhu wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaily membedakan antara dua kondisi ambruknya suatu bangunan. Yang pertama adalah khalal aṣhli, yaitu kerusakan yang melekat sejak awal karena kesalahan perencanaan, desain, atau bahan bangunan yang cacat. Dalam hal ini, pemilik bangunan bertanggung jawab penuh (dhamān), termasuk bila menyebabkan kematian, dengan kewajiban diyat setara 100 ekor unta atau uang yang sepadan.
Kondisi yang kedua adalah khalal thāri’, yaitu kerusakan yang muncul kemudian karena sebab baru, seperti faktor alam atau kelalaian pemeliharaan.
Dalam kondisi ini ulama masih berbeda pendapat. Mazhab Syafii dan Hanbali berpendapat tidak wajib diyat sama sekali bagi pemilik bangunan. Sedangkan, mazhab Hanafi dan Maliki menegaskan: bila sudah ada yang meminta bangunan itu untuk di bongkar dalam arti ada peringatan bahaya dan pemilik tetap membiarkan, maka ia tetap wajib menanggung ganti rugi.
Dari penelusuran para ahli konstruksi, runtuhnya bangunan di PP Al Khoziny disebabkan oleh kegagalan struktur sejak awal — fondasi tidak memadai, penambahan lantai tanpa perhitungan teknis, dan beban pengecoran yang berlebih. Tidak ada indikasi faktor eksternal seperti gempa atau banjir.
Dengan demikian, dari sudut pandang fikih, kasus ini masuk dalam kategori khalal ashli: cacat bawaan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Dalam kerangka hukum Islam, hal ini menimbulkan tanggung jawab dhamān bagi pihak yang memiliki otoritas pembangunan, baik pengelola pesantren maupun pelaksana teknis, sesuai kadar keterlibatannya.
Namun tentu, ini bukan penghakiman moral, melainkan pembacaan ilmiah terhadap fikih. Islam mengajarkan keadilan: siapa pun yang menjadi sebab bahaya wajib menanggung akibatnya.
Takdir Allah tidak menafikan tanggung jawab manusia. Justru di sanalah ujian iman dan akal bertemu: apakah kita bersyukur dan bersabar, sekaligus belajar memperbaiki kesalahan agar tidak terulang kembali.
Tragedi PP Al Khoziny bukan sekadar kisah duka, melainkan juga cermin bagi dunia Islam modern: bahwa membangun pesantren bukan hanya menegakkan dinding dan atap, tetapi juga menegakkan nilai-nilai amanah, kehati-hatian, dan profesionalisme — agar rumah ilmu dan ibadah benar-benar menjadi tempat yang membawa keselamatan, bukan sebaliknya.