Suasana Lapangan Plumbungan, Sragen, Jawa Tengah, pada Sabtu malam, 13 September 2025, berubah menjadi lautan manusia. Ribuan santri, wali santri, tokoh masyarakat, hingga warga umum tumpah ruah menghadiri Pagelaran Seni Santri Pondok Pesantren Walisongo, Sragen, yang diasuh KH Ma’ruf Islamuddin. Acara ini digelar sebagai puncak kegiatan budaya dan kreativitas santri tahun 2025 sekaligus menyambut bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Pagelaran seni ini menjadi bukti nyata bahwa pesantren tidak hanya tempat mendalami ilmu agama, tetapi juga pusat kreativitas budaya. Dengan mengusung tema “Suluk Saridin: Kisah Perjalanan Syekh Jangkung”, acara ini menghadirkan rangkaian pertunjukan dengan nuansa budaya yang kental, seperti wayang, ketoprak , dan sinema santri yang digarap langsung oleh para santri PP Walisongo.

H Bahrul Mustawa, putra KH Ma’ruf Islamuddin, dalam sambutannya menyampaikan bahwa seni adalah bagian penting dari kehidupan manusia.
“Kami ingin menunjukkan bahwa santri tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga mampu mengolah seni yang berakar pada budaya bangsa. Ini wujud hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman),” tuturnya di hadapan para undangan.
Lebih lanjut, Gus Tawa, panggilan akrab H Bahrul Mustawa, berharap pagelaran ini menjadi ruang ekspresi santri untuk melatih kepercayaan diri, keterampilan berkomunikasi, dan kreativitas tanpa meninggalkan nilai-nilai pesantren.
“Wayang, ketoprak, bahkan cinema santri ini tidak hanya hiburan. Di dalamnya kami selipkan nilai-nilai akhlak, sejarah Islam, dan semangat kebangsaan,” imbuh Gus Tawa.
Pertunjukan wayang santri menjadi daya tarik utama malam itu. Dengan dalang muda yang juga seorang santri, mengangkat lakon yang bukan sekadar cerita pewayangan klasik, tetapi dikemas ulang dengan nilai moral Islam dan pesan-pesan kebangsaan. Penonton terlihat antusias ketika dalang menyisipkan guyonan khas pesantren yang segar, membuat suasana cair tanpa kehilangan bobot pesan yang ingin disampaikan.
“Seru sekali melihat santri mendalang dengan gaya khasnya,” kata salah seorang penonton, Siti Aminah (34), warga Sragen yang datang bersama keluarganya. “Ini bukti pesantren ikut menjaga budaya Jawa,” tambahnya.
Selain wayang, ketoprak santri juga tak kalah memikat. Para santri memainkan kisah-kisah perjuangan Syekh Jangkung dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Busana tradisional Jawa lengkap dengan blangkon dan kebaya membuat suasana terasa seperti kembali ke masa lampau. Dialog-dialog ketoprak disisipi bahasa Jawa halus dan pesan-pesan religi yang membuat penonton larut dalam suasana.
Kreativitas ini juga menjadi media pembelajaran sejarah bagi santri sendiri. Mereka tidak hanya membaca kisah para leluhur penyebar Islam di Jawa dari kitab atau buku, tetapi menghayatinya dalam bentuk teater rakyat.
Puncak kejutan malam itu adalah pemutaran sinema santri berupa film pendek karya para santri PP Walisongo Sragen. Film ini mengangkat tema keseharian santri di pesantren, persahabatan, perjuangan belajar, dan kisah inspiratif tentang pengabdian guru. Dengan peralatan sederhana, para santri berhasil memproduksi film yang menghibur sekaligus menyentuh hati penonton.
Menurut panitia, pemutaran film ini adalah langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital kreatif kepada santri agar mereka melek teknologi, tetapi tetap berlandaskan nilai-nilai Islam.
Masyarakat Plumbungan dan sekitarnya tampak antusias. Sejak sore hari, lapangan sudah dipadati pengunjung. Pedagang kaki lima pun ramai berjualan makanan dan minuman sehingga suasana semakin semarak. Tidak hanya warga sekitar, beberapa alumni pesantren dari luar kota juga datang untuk bernostalgia dan memberi dukungan.
Pagelaran ini mendapat apresiasi luas dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat setempat. Menurut Camat Plumbungan Leila Yunita Kartikawati yang turut hadir, dalam sambutannya, kegiatan semacam ini dapat memperkuat identitas budaya lokal sekaligus memberi ruang bagi generasi muda santri untuk ikut serta dalam melestarikan budaya lokal.
Pagelaran Seni Santri PP Walisongo Sragen ini menjadi contoh nyata bagaimana pesantren berperan penting dalam pelestarian budaya bangsa. Dengan membumikan nilai-nilai Islam melalui seni tradisional, pesantren mampu merangkul masyarakat luas tanpa memutus akar budaya lokal.
KH Ma’ruf Islamuddin menutup acara dengan doa bersama, berharap pagelaran seni ini bukan hanya hiburan tahunan, tetapi momentum untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan semangat gotong royong antarwarga.
Melalui acara ini, PP Walisongo Sragen menunjukkan wajah santri yang kreatif, berbudaya, dan visioner. Seni tradisional yang dikolaborasikan dengan pesan moral Islam menjadi pesan universal: santri bukan hanya penjaga kitab, tetapi juga penjaga budaya dan peradaban.
