Tradisi meugang merupakan salah satu warisan endatu sejak dulu di Aceh. Meugang adalah tradisi memasak daging sehari sebelum Ramadan, sebelum Idul Fitri, dan sebelum Idul Adha. Praktis, tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun oleh masyarakat Aceh.
Tradisi warisan Sultan Iskandar Muda itu masih bertahan hingga generasi milenial saat ini. Meugang jelang Ramadan, masyarakat yang merayakannya dimaknai sebagai sebuah bentuk suka cita dan kesiapan dalam menyambut datangnya bulan penuh berkah tersebut.
Selain itu, meugang juga dinilai sebagai ajang untuk bersedekah kepada fakir miskin, janda dan anak yatim, serta orang jompo. Sedekah dalam meugang dibagi menjadi dua macam, yakni sedekah dalam bentuk daging mentah seberat setengah hingga satu kilogram, dan memberi makan berupa masakan daging.
Menurut masyarakat setempat, merayakan meugang bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebuah keharusan. Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat akan tetap merayakan meugang, bagaimana pun kondisinya. Bagi yang tidak bisa membeli daging sapi atau lembu, bisa menggantinya dengan menyembelih ayam maupun bebek.
Pada hari meugang orang yang telah dicatat namanya datang ke tempat yang telah ditentukan di mana penyembelihan dilakukan, mereka mengambil daging sesuai pesanan. Daging yang diberikan bukan dalam ukuran kilogram, akan tetapi dalam ukuran tumpok.
Istilah tumpok dalam bahasa Aceh adalah daging yang ditumpuk dan dicampur, mulai dari daging, tulang, serta kulit.
Semua mendapatkan jatah yang sama. Walaupun ada sebagian yang lebih dan kurang dalam pembagiannya, tetapi hal tersebut tidak dipermasalahkan, karena memang daging tersebut dikatakan sie tumpok (daging tumpuk).
Secara umum, aktivitas dalam perayaan meugang ini memiliki dimensi sosial kegamaan dan ukhuwah. Tradisi Meugang di berbagai wilayah Aceh berbeda-beda. Ada daerah yang suka menu meugang khasnya, umpamanya daging kerbau disukai di daerah tertentu saja, sedangkan kawasan lainnya kurang “sreg’’ dengan daging kerbau, begitu juga lembu.
Begitu juga masakan dari olahan daging ini dapat berbeda sesuai karakteristik wilayah tersebut. Misalnya di Pidie, Bireuen, Aceh Utara, dan beberapa daerah lain masyarakatnya suka memasak kari atau sop daging.
Masyarakat di Aceh Besar, pada hari meugang sangat senang memasak daging asam keueungdan sie reuboh atau daging yang dimasak dengan dicampur asam cuka. Tradisi meugang merupakan warisan leluhur (endatu) yang telah berlangsung lama.
Tradisi meugang memiliki beberapa dimensi nilai-nilai ajaran Islam dan adat istiadat dalam masyarakat Aceh. Hari meugang identik dengan hari bersedekah dan berbagi. Momentum meugang terlebih adanya saweu gampong (mudik) kala jelang hari meugang, tentunya ada nilai religiusnya tersendiri. Meugang pada hari raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadan.
Tradisi meugang tentu menjadi satu momen berharga bagi petinggi istana, para dermawan, dan orang kaya untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Tradisi meugang juga menjadi nilai kebersamaan karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahim di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan. Begitu menyatunya masyarakat Aceh di kala menyambut bulan suci Ramadan.
Masyarakat Aceh perantau di negeri orang akan segera pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga pada uroe meugang, dan menghormati kedua orang tua dan teungku (ulama).
Nilai lainnya di balik tradisi meugang bukan hanya bersifat ala jasmaniah dengan makan daging dan sejenisnya. Namum nilai rohaniah juga apabila digali sangat besar di balik tradisi yang telah dilakukan turun menurut itu dalam kalangan masyarakat Aceh.
Beranjak dari paparan di atas, tradisi meugang harus kita lestarikan terutama oleh generasi zaman now dan generasi selanjutnya.
Keberadaan tradisi meugang juga menjadi ajang bagi anak-anak untuk menghormati kedua orangtua, para menantu menghormati mertuanya, dan para santri pun biasanya mendatangi rumah para teungku atau guru ngaji dengan mengantarkan masakan dari daging meugang.
Hal ini, katanya, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka karena telah mengajarkan ilmu agama, membina dan mendidik mereka dengan tulus ikhlas.
Nilai-nilai ajaran Islam melekat pada perayaan meugang. Jika ditinjau dari segi budaya, tradisi meugang adalah satu tradisi yang tidak berkaitan dengan ajaran agama Islam. Tapi jika dihubungkan dengan konteks dan latar belakang perayaan meugang ini, tradisi ini dapat dinyatakan merupakan pengamalan ajaran agama Islam, seperti mempererat hubungan kekeluargaan serta saling membantu dan mengokohkan silaturahmi.
Dilatarbelakangi oleh syariat Islam, meugang merupakan living of live bagi masyarakat Aceh yang diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari serta pada adat istiadat. Tradisi meugang merupakan pengamalan nilai-nilai dalam ajaran Islam di kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya tradisi ini adalah suatu bagian dari tafsir agama yang diimplementasikan dalam bentuk budaya atau tradisi.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.