tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Hujan Bulan Juni, karya Sapardi Djoko Damono, dari buku Sastrawan Angkatan 66-70 oleh Dian Ika Pratiwi)
Benarkah puisi ini diciptakan ketika musim hujan? Atau terinspirasi oleh hujan di Bulan Juni? Benarkah terjadi hujan di bulan Juni? Kalimat-kalimat tanya ini tidak akan pernah terjawab kecuali oleh pencipta puisi ini.
Sapardi Djoko Damono atau yang biasa disingkat menjadi SDD, mencoba beralibi dengan waktu dan musim. Waktu yang dimaksud adalah bulan Juni, sedangkan musim adalah hujan. Walaupun, tidak ada aturan puitika, bahwa puisi itu diciptakan harus benar-benar sesuai dengan fakta dan realita. Tidak ada kaidah dalam perpuisian yang mengatur cipta-lirik puisi harus selaras dengan kenyataan.
Tetapi, kejujuran di dalam perpuisian akan memberikan efek yang “lebih”, karena jujur adalah sikap dan sifat hati yang tidak pernah berdusta. Meskipun puisi masuk dalam kategori fiksi, tetapi dalam realitas terciptanya puisi acapkali mengusung realita kata hati, sekaligus waktu dan kisah yang juga sesuai dengan fakta.
Berdasarkan siklus musim, pada bulan Juni umumnya tidak terjadi hujan. Karena, pada bulan tersebut Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Terus, apakah SDD berdusta dalam penciptaan puisi kali ini? Tunggu dulu! Memaknai sekaligus menanggapi puisi seseorang tidak hanya dilihat dari teksnya saja, tetapi perlu juga ditelusuri konteks dan “ruh” atau “jiwa” puisi itu sendiri yang cenderung mengungkap “misteri” yang perlu dipecah-kajikan ulang.
Merindukan Hujan
Kita ketahui bahwa SDD adalah sastrawan yang sangat menyukai hujan. Tepatnya, menikmati hujan sehingga di dalam puisinya seringkali terdapat memoar hujan. Bahkan, sebuah novel juga dikarang dengan judul Hujan Bulan Juni, sebuah novel yang sama dengan judul puisinya.
Di bulan Juni, biasanya cuaca sangat gerah dan panas. Sumur-Sumur mulai mengering, tumbuh-tumbuhan mulai meranggas dan terlihat layu. Di bulan inilah, bukan saja Sapardi DD yang rindu akan kidung dan orkestra titik-titik hujan, tetapi tanaman, binatang, dan juga manusia secara umum merindukan turunnya hujan. Di bulan Juni ini, di saat kemarau melanda, hujan begitu dirindukan.
Maka, jika benar-benar turun hujan di bulan Juni, simfoni kedamaian begitu nyata. //tak ada yang lebih tabah//dari hujan bulan Juni//. Tabah dalam KBBI adalah “tetap dan kuat hati dalam menghadapi ujian atau cobaan; berani.” Dalam menunggu turunnya hujan, kita harus tabah. Karena hujan itu sendiri berupa nikmat ketika turun dalam kondisi normatif. Tetapi, jika hujan begitu meruah, melimpah, dan tidak terkendali, maka hujan itu pun bisa menjadi musibah. Biasanya, jika terjadi hujan di bulan Juni adalah hujan kiriman yang keadaannya akan membawa kepada kesejukan dan kedamaian, setelah sekian lama dilanda kemarau.
Tak ada yang lebih tabah,” adalah kalimat la nafi alladzi linafyil jinsi; yaitu kalimat penyangkalan yang meniadakan segala jenis yang lain. Maka sebagai “jawab” dari “la” adalah kalimat “dari(pada) hujan di bulan Juni.”
Dengan kata lain; satu-satunya bulan (dari 12 bulan yang ada) yang tabah adalah bulan Juni. Mengapa? Karena di bulan Juni, hujan begitu ditunggu-tunggu untuk segera mengguyur tanah dan tanaman yang ada.
Hujan di bulan Juni adalah suatu anugerah. Nikmat hujan yang begitu dirindu, diinginkan oleh makhluk hidup di muka bumi. //dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu//; sebuah romansa kerinduan yang “dirahasiakan”, tidak berlu meledak-ledak dalam tafakur kerinduan. Berjalan secara normatif, dengan tetap bersyukur atas nikmat hujan yang telah diberikan Tuhan.
Pohon berbunga adalah sebuah ungkapan kebahagiaan. Bunga adalah lambang kebaikan, keindahan yang akan melahirkan ritme dan nuansa kebahagiaan. Setelah hujan turun, harum tanah seolah pendarkan cahaya kerinduan yang selama ini tertahan dan tertanam di ceruk hati yang paling dalam.
Rintik rindu yang dirahasiakan hujan di bulan Juni melahirkan kebahagiaan yang begitu kuat. Turunnya hujan merupakan luapan rindu yang mengantarkan rasa kebahagiaan tersendiri. Di antara rintik dan rinai hujan, ada gending kebahgiaan yang tidak bisa diwakilkan oleh hujan di bulan lainnya.
Jejak-jejak Kaki
//tak ada yang lebih bijak//dari hujan bulan juni// adalah larik puisi yang menyampaikan hakikat hujan di bulan Juni. Hujan di bulan ini mengantarkan titik-titik air di sela-sela akar dan daun tanaman untuk dijadikan bekal hidup selanjutnya. Kemarau yang telah membakar keadaan, menjadikan hujan bulan Juni menjadi penawar dahaga baik bagi tanaman, hewan, maupun manusia.
//dihapusnya jejak-jejak kakinya// dapat ditafsirkan sebagai jalan hidup yang terjadi di musim kemarau. Rumput yang kering, pepohonan yang ranggas, tanah yang pecah-pecah menjadi saksi bisu atas kondisi keadaan di musim kemarau (di bulan Juni). Jejak-jeka ini telah dihapus dengan hujan di bulan Juni. //yang ragu-ragu di jalan itu// karena hujan di bulan Juni hanya sebuah awal. Tidak semua jejak kemudian hilang tak berbekas.
Tetapi masih ada di sana-sini (ragu-ragu) beberapa tanaman yang belum tersentuh rintik hujan, juga tanah-tanah kering yang masih perlu guyuran hujan di bulan-bulan berikutnya. Setidaknya, meski tidak begiru purna, tanaman sudah mulai segar, tanah juga mulai hidup, dan hewan-hewan juga tidak terlalu resah di dalam penantian.
Yang tak Terucap
Hujan merupakan sebuah rahmat. Merupakan siklus keseimbangan air yang ada muka bumi ini; tidak berkurang pun tidak berlebih. Siklus air dari air yang menggenang, kemudian terjadi perubahan ke penguapan (gas), dan selanjutnya dibawa angin dalam bentuk jenuh, serta luruh dan gugur sebagai geriap hujan. Siklus hujan ini akan terus terjadi sepanjang masa hingga hari kiamat.
//tak ada yang lebih arif//dari hujan bulan Juni// sebagai bentuk kebijakan dan kecerdikan karena hujan di bulan ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Ketika kondisi kerontang menguasai bumi, ladang dan sawah terbakar, tumbuhan dan tanaman meranggas dan gersang, maka hujan (bulan Juni) tiba-tiba datang. Merupakan suatu kearifan yang luar biasa ketika yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti banar-benar datang bagai cerdik-pandai yang menghaturkan ilmu kebijaksanaan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Nikmat hujan memang tidak terungkapkan. Tetapi riak gelombang airnya menjadi penanda akan adanya kehidupan. Bukankah di dalam al-Quran, Allah berfirman, “Dan kami jadikan segala sesuatu dari air (menjadi) hidup.” Air, dalam segala jenisnya merupakan cikal-bakal kehidupan yang eksistensinya akan selalu diharapkan.
//diabiarkannya yang tak terucapkan// merupakan penanda dari sebuah tetes air yang datang tanpa berucap kata-kata. Tiba-tiba saja riaknya mengalir, menyesap ke seluruh penjuru arah guna menjadi pelindung kehidupan. //diserap akar pohon bunga itu// setelah hujan (bulan Juni) turun, akar pohon-pohon menyerap untuk menjadikan kesegaran dan tanaman kembali berproduksi.
“Pohon bunga” merupakan lambang keindahan. Pada saat itu, keindahan dan kebahagiaan menguasai jiwa seluruh alam. Pohon-pohon mulai bersemi, daun-daun terlihat segar, dan bunga-bunga mulai mekar. Suasana mulai berubah, dari kering kerontang menjadi asri dan menyejukkan. Maka, “Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?”
Rindu, Bijak, dan Arif
Setidaknya ada tiga hal pokok yang tersurat di dalam puisi Sapardi Djoko Damono ini. Pertama, rindu, yang merupakan rasa sayang yang begitu merasuk. Rindu akan segala sesuatu yang halal merupakan sebuah keniscayaan. Rindu kepada istri/suami, rindu kepada sahabat, rindu kepada guru, rindu kepada kampung halaman, bahkan rindu kepada Tuhan. Rindu adalah sesuatu yang suci, selama kerinduan itu jatuh kepada sesuatu yang halal.
Kedua, bijak adalah menggunakan logika dan akal budi di dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Di dalam puisi Sapardi ini terdapat pada larik yang kelima atau bait yang kedua baris yang pertama. Visi dan misi puisi ini memberikan nasihat kepada kita untuk selalu bersikap bijak dan berbuat bajik. Kedua sifat ini apabila merasuk di dalam karakter seseorang maka orang tersebut akan mendapat derajat yang tinggi baik di lingkungan manusia ataupun di sisi Allah.
Seseorang yang mempunyai karakter bijak, akan menggunakan akalnya untuk berbuat kebaikan bagi diri sendiri maupun orang banyak. Perbuatan ini akan melahirkan nilai-nilai logika yang dihormati oleh banyak orang. Kehormatan seseorang ditentukan oleh sikap dan tindakan bijaksana yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, arif dan bijak adalah dua sisi mata uang yang saling mengisi dan melengkapi. Di dalam puisi ini, kata bijak terdapat pada bait ketiga baris pertama dengan konteks hujan bulan Juni serta serapan akar pohon yang berbunga. Kearifan seseorang ditentukan seberapa dalam seseorang itu dalam memahami dan menghayati kaidah sosial untuk diterapkan dalam kehidupan. Dengan demikian, seseorang akan dikatakan arif sekaligus bijak jika tindak dan aktivitasnya memberikan rasa aman bagi lingkungannya dan memberikan rasa tentram bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Logika ilmiah yang berdedikasi pengetahuan sosial akan memberikan nilai kearifan di dalam konteks ber-hablum minannas; hubungan sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, nilai-nilai sikap arif juga akan semakin mendekatkan hamba kepada Tuhannya. Maka, tidak ada salahnya ketika kita berusaha untuk memadu-padankan sikap arif yang memang di-visi_misi-kan di dalam puisi Sapardi Djoko Damono ini.
Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah artikel tentang puisi ini, yang menjelaskan bahwa; “Puisi Hujan Bulan Juni terdiri dari 12 baris, memiliki 6 subide, semacam alinea dalam narasi prosa. Masing-masing alinea memiliki ide tertentu, seperti penantian yang tabah, kerinduan yang dirahasiakan, penantian yang bijak, penghapusan masa lalu yang menimbulkan keraguan, kearifan penantian, dan penantian yang berujung kebahagiaan.”
“Puisi Hujan Bulan Juni merupakan puisi berirama eufoni yang bunyinya harmonis nan lembut. Tiap baris disajikan dengan kata yang halus dan dengan gaya bahasa kiasan yang personifikasi yang didapat dalam kata hujan dikiaskan seperti manusia yang bersikap tabah, arif, dan bijak.”
Jelas sekali nampak bahwa puisi Sapardi ini memiliki ruh dan jiwa yang arif dan bijaksana untuk menanamkan rasa rindu kepada karunia Tuhan. Penantian yang harus sabar dan tabah, menjadikan masa lalu sebagai cermin untuk melangkah ke masa depan yang gemilang. Dalam bahasa al-Quran, “waltandhur nafsum ma qaddamat lighath”, (hendaknya seseorang itu melihat kejadian masa lalu untuk (kesempurnaan) hidup besok/yang akan datang.)
Sapardi Djoko Damono adalah tokoh sastrawan Indonesia yang meletakkan lirik puisi di dalam diksi yang mudah dicerna dengan pilihan kata yang sangat sederhana. Tetapi kesederhanaan yang dimiliki memberikan dampak positif yang luar biasa. Bahasa yang apa adanya, tetapi mempunyai nilai-nilai logis yang ada maknanya.
Semoga kita mampu menggali makna itu dan menjadikannya spirit untuk berbuat banyak kebaikan dengan larik-larik puisi. Aamiin!