Buya Hamka merupakan salah satu tokoh terkemuka di Nusantara. Melalui pengabdian dan karya-karyanya di bidang ilmu pengetahuan, nama Buya Hamka semakin dikenal di masyarakat. Perannya di bidang politik dan keorganisasian pun turut serta membuat kareirnya melejit. Bahkan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas kontribusinya di dunia keilmuan dan politik Indonesia, kisah hidupnya diangkat ke layar lebar pada 19 April 2023 lalu.
Profil Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan nama Buya Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 1908 M. Panggilan Buya merupakan sebutan yang digunakan oleh orang Minangkabau untuk seseorang yang dihormati atau sebutan untuk ayah. Di Minangkabau sendiri, Buya memiliki arti ayah kami yang merupakan kata serapan dari bahasa arab yaitu abi atau abuya. Sedangkan Hamka merupakan singkatan dari namanya. Berbeda lagi ketika masih kecil, Buya Hamka lebih sering dipanggil dengan sebutan Abdul Malik.
Buya Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami ilmu agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sedangkan ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria. Buya Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara. Adik-adiknya adalah Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu’thi.
Ketika Buya Hamka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914 M, ia mengawali pendidikannya mengenai dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Setahun kemudian ia dimasukkan ke sekolah desa oleh ayahnya. Kemudian Pada tahun 1916 M, Buya Hamka belajar di sekolah diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai. Dari sini rutinitas Buya Hamka di masa kecil adalah pergi ke sekolah desa di pagi hari, dan pergi belajar ke sekolah diniyah di sore hari, tak lupa kegiatan malam hari ia habiskan di Surau bersama teman-teman sebayanya.
Buya Hamka mengenyam Pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga Tingkat Dua, kemudian melanjutkan pendidikannya di Sumatera Thawalib Padang Panjang yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Di sana, ia belajar bahasa Arab dan mengkaji ilmu-ilmu agama di surau dan masjid yang diasuh oleh sejumlah ulama terkemuka seperti Sutan Mansur, RM. Surjoparonto, Ki Bagus Hadikusumo, Syekh Ahmad Rasyid, dan Syekh Ibrahim Musa.
Selain pribadi yang taat beragama, Buya Hamka juga merupakan seorang yang cerdas, rajin, dan jenius. Keberhasilannya dalam menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal saja tetapi juga belajar secara otodidak. Beberapa ilmu yang ia pelajari secara otodidak adalah filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Bahkan dengan bekal kemampuan bahasa Arabnya, Buya Hamka banyak menelaah karya-karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti Mustafa al-Manfaluti, Abbas al-Aqqad, Husain Haikal, Jurji Zaidan, dan Zaki Mubarak. Begitu juga dengan karya-karya sarjana Barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Pada tahun 1927, Buya Hamka mulai mengabdikan dirinya dengan menjadi guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Dua tahun setelahnya, ia juga menjadi guru di Padang Panjang. Tak berhenti di situ, ia mengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang pada tahun 1957 M-1958 M. Buya Hamka juga pernah dipercayakan untuk menjabat sebagai rektor di Perguruan Tinggi Islam Jakarta.
Selain mengabdikan dirinya di bidang ilmu pengetahuan, Buya Hamka juga aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan Muhammadiyah, bahkan ia turut membantu mendeklarasikan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1925 M. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1928 M, menjabat sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat pada tahun 1946 M, serta menjabat sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1953 M.
Semenetara itu, di bidang politik, Buya Hamka adalah anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 M. Pada tahun 1947 M, ia dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional sekaligus anggota Konstituante Masyumi. Sayangnya, ketika pemerintahan Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960 M, empat tahun setelahnya, yakni pada tahun 1964 M-1966 M ia dipenjara karena dituduh pro-Malaysia.
Sebelum ia terjun ke dunia politik, ia juga seorang penulis dan editor. Pada tahun 1920-an, Buya Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928 M, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat, dan di tahun 1932 M, ia menggeluti dunia penyuntingan dan penerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Ia juga menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Atas jasa dan pengabdiannya dalam dunia keilmuan, Buya Hamka mendapatkan gelar kehormatan doctor honoris causa dari Universitas al-Azhar pada tahun 1958 M dan dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974 M. Beberapa gelar lainnya juga ia dapatkan dari pemerintah Indonesia, seperti gelar Datuk Indono dan gelar Pengeran Wiroguno. Pada 26 Juli 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia pertama kali terbentuk, Buya Hamka juga dipercayai untuk menjadi ketua MUI dengan pemilihan secara aklamasi.
Buya Hamka menikah dengan Siti Raham pada 5 April 1929. Buya Hamka berusia 21 tahun, sedangkan Siti Raham berusia 15 tahun. Dari hasil pernikahan tersebut, Buya Hamka dan istrinya diberkahi 10 orang anak yaitu: Zaki Hamka, Rusjdi Hamka, Fachry Hamka. Azizah Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka, Fathiyah Hamka, Hilmi Hamka, Afif Hamka, dan Shaqib Hamka. Setelah Siti Raham meninggal dunia, Buya Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah pada Agustus 1973. Namun dari pernikahan keduanya ini, Buya Hamka tidak dikaruniai keturunan.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan MUI, kesehatan Buya Hamka mulai menurun hingga harus mendapatkan perawatan yang serius. Tak lama setelah di rawat di Rumah Sakit pada 18 Juli 1981, Buya Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, pemakamannya tidak hanya dihadiri oleh murid, sahabat dan kerabat-kerabatnya saja, tapi juga dihadiri oleh para petinggi negara Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Menteri Perhubungan Azwar Anas.
Karya-karya Buya Hamka
Mahakaryanya yang fenomenal adalah Tafsir al-Azhar. Tafsir karangannya ini adalah tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan yang diprakarsai oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Corak sastra budaya kemasyarakatan sendiri merupakan suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk memecahkan problem mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti tapi indah terdengar.
Tafsir al-Azhar adalah karya yang mengharumkan namanya dijagat intelektual Islam Indonesia. Bahkan lebih fenomenal lagi ketika ia menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar ditulis di balik jeruji besi. Tafsir al-Azhar banyak diakui berbagai kalangan sebagai karya terbaik dan monumental Buya Hamka. Dengan tafsirnya ini, ia mencoba mengaitkan sejarah Islam modern dengan studi Al-Qur’an dan berusaha melangkah keluar dari penafsiran-penafsiran tradisional.
Dengan keterampilan tulis menulisnya, Buya Hamka juga menghasilkan banyak karya terutama dalam bidang sastra. Ada sekitar 90 judul buku yang telah Buya Hamka terbitkan. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tasawuf Modern (1939), Tuan Direktur (1939), Falsafah Hidup (1940), Merantau ke Deli (1941), dan masih banyak lagi lainnya. Tak hanya buku, Buya Hamka juga menulis berbagai artikel dan cerpen dengan genre yang berbeda-beda.
One Reply to “Mufasir Kontemporer Nusantara (2): Buya Hamka”