Sejarawan Asia Tenggara John Sydenham Furnivall pernah mengatakan, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik (Furnivall, 2009). Ada kalanya benar, namun hemat Penulis, tidak hanya kesatuan politik melainkan juga berbagai variabel lainnya, mencakup sosial, budaya, dan hukum.
Tentu hal tersebut mengindikasikan situasi tidak baik-baik saja. Sebab, ancaman konflik dan ketimpangan acapkali menyelimuti masyakakat majemuk. Bagaimana tidak, keragaman yang berada di dalamnya jika tidak dibarengi dengan pengelolaan keragaman melalui prinsip kesedarajatan akan tetap saja berujung pada kekerasan dan konflik. Kekerasan, baik secara struktural maupun kultural, menjadi bayang-bayang yang menakutkan ketika dua kebudayaan atau lebih bersinggungan.
Dalam dimensi sejarah, melalui buku Sistem Sosial Indonesia karya Nasikun (2003), dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda ketimpangan antara Jawa dan non-Jawa terlihat sangat kentara. Contohnya, pendidikan hanya diberikan pada ‘pribumi elite’ Jawa. Kaum pribumi dan non-Jawa disingkirkan dari upaya mencerdaskan.
Hal ini menghasilkan lahirnya pekerja-pekerja yang berdarah Jawa. Sedangkan darah non-Jawa kebanyakan menjadi pengusaha. Selain itu, konsentrasi terhadap ‘Jawa’ juga dapat ditarik sejak perpindahan pusat perdagangan yang dilakukan Hindia Belanda dari Maluku ke Jawa pada abad ke-18 Masehi. Maka dari itu, daerah luar Jawa diawasi secara tidak langsung oleh pemerintahan Hindia Belanda dan hal itu berpengaruh hingga sekarang.
Terlebih perlakuan pemerintah Kolonial yang berlainan dan pilih kasih antargolongan. Misalnya, kalangan Eropa, Timur Asing, dan pribumi, diperlakukan secara berbeda-beda. Lagi-lagi hal ini membawa pengaruh terhadap hubungan sosial di antara ketiganya walaupun bangsa Indonesia telah memeroleh kemerdekaan (Nasikun, 2003).
Saat bangsa Indonesia telah merdeka, jurang pemisah antarkalangan pun masih kentara. Hal itu dapat dirujuk pada perkataan Soekarno yang menegaskan bahwa Bangsa Indonesia adalah semua suku yang berada di wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, entah keturunan dan berdarah apapun yang memiliki kesamaan watak, rasa persatuan, dan rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan. Sehingga yang dibangun kala itu bukan kesatuan yang sejati atas berbedanya ras, suku, bangsa, golongan, dan budaya namun satu kesatuan, kemerdekaan, dan perdamaian.
Di satu sisi, masyarakat majemuk pun memiliki problematika tersendiri ketika terjadi interaksi di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Konflik menjadi barang yang tak mahal ketika sentimen kesukuan atau keetnisan begitu kuat.
Geertz menamakan istilah ini sebagai ‘sentimen primordialisme’ yang memiliki potensi dampak yang begitu besar seperti pemberontakan dan upaya pemisahan diri dari bangsa.
Memang, tak sedikit fakta dalam sejarah Indonesia mengenai gerakan pemberontakan dan upaya pemisahan diri dari negara Indonesia. Dari masa awal kemerdekaan hingga era reformasi pun masih diwarnai dengan beragam gerakan-gerakan yang berbau motif pemberontakan dan separatisme. Tanpa menafikan fakta terbaru seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merkeda (OPM), gerakan Pemberontakan DI/TII, dan Pemberontakan Permesta adalah segelintir konflik imbas dari konsepsi masyarakat majemuk.
Program Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yang jaya pada masa Orde Baru tak lain merupakan kekerasan struktural yang dijalankan negara untuk mengopresi budaya minor (Maarif, 2019). Proyek ini berupaya melakukan indoktrinasi yang diarahkan pada keragaman budaya agar tunduk pada tafsir tunggal Pancasila. Ditambah pula, proyek yang sangat menafikan nilai-nilai multikulturalisme ini implisit dengan ‘Jawanisasi’ sehingga melahirkan perlawanan dai kelompok-kelompok pendukung budaya selain Jawa.
Beragam literatur mengatakan bahwa gerakan-gerakan tersebut muncul akibat dari ketimpangan bahkan tak jarang diskriminasi. Dengan itu, perlunya untuk mengelola perbedaan yang mengakui serta menjunjung prinsip keadilan dan kesetaraan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kebanyakan dari kita mungkin menganggap mulikulturalisme adalah keanekaragaman suku, bangsa, budaya, bahasa, dan agama. Namun, sejatinya lebih dari itu. Dalam multikulturalisme ditekankan mengenai kesederajatan. Jadi, multikultrualisme adalah keanekaragaman suku, bangsa, budaya, bahasa, dan agama dalam kesederajatan. Sehingga semboyan bangsa ‘Bhinneka Tunggal Ika’ perlu dibubuhi nomenklatur kesederajatan. Pasalnya, jika landasan mengenai semboyan ini akan disalahartikan hanya terbatas pada ‘berbeda-beda’ saja, belum mencakup nilai kesederajatan dalam ‘multikultural’.