“Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru dari Papua.” Penjelasan Pak Karim itu sontak membuat kelas sebelas IPA gaduh. Baru kali ini sekolah ini kedatangan siswa dari luar provinsi, apalagi dari Papua.
“Silakan masuk, Fielda,” sambung wali kelas sebelas IPA itu.
Semua pasang mata yang hadir di ruangan itu tertuju ke pintu masuk, menantikan sosok siswa baru yang baru saja dijelaskan Pak Karim. Sejenak gadis berseragam putih abu-abu itu masuk ke kelas dengan langkah yang hati-hati sembari menundukkan pandangan. Dia mengikis jarak dengan Pak Karim, lalu berhenti setelah tinggal beberapa langkah dari posisi Pak Karim.
“Fielda, silakan perkenalkan diri terlebih dahulu kepada teman-temanmu,” titah Pak Karim.
Fielda mengangguk pelan, lantas dia mulai mendongak dan menatap seluruh teman barunya. Senyumnya mengembang disertai dengan lesung pipi di sebelah kanan. Setelah pandangannya mengedar ke penjuru sudut ruangan, gadis itu mulai membuka mulutnya.
“Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Fielda Ramadhani. Saya pindahan dari Papua karena ayah saya sibuk kerja di sini.”
“Dari Papua tapi wajahnya cerah, ya,” bisik Lintang kepada teman sebangkunya. Hanya dijawab dengan anggukan pelan dengan masih memperhatikan murid baru yang sedang memperkenalkan diri di depan.
Beberapa menit berlalu, Fielda dipersilakan Pak Karim duduk di bangku sebelah Lintang. Sementara itu, Lintang menyuguhkan senyum kecut untuk teman barunya itu. Setelah itu, pelajaran Matematika yang diampu oleh Pak Karim dimulai. Dengan semangat dan senang hati Fielda mengikuti pelajaran kesukaannya itu. Pandangannya fokus kepada guru yang berada di depan, sehingga tak sadar jika tasnya dimasuki sesuatu oleh Lintang.
Lintang pun cengengesan di tengah Pak Karim menerangkan tentang pelajarannya. Bukan hanya Fielda yang menjadi sasaran keusilan Lintang. Banyak lagi teman-teman yang lain yang terkena sifat badung Lintang. Seharian Lintang menunggu saat Fielda terkejut akan benda yang dia masukkan ke tas Lintang. Akan tetapi, rencananya sepertinya tak membuahkan hasil lantaran Fielda yang tak ada respons apa pun kala membuka maupun mengambil sesuatu dari tasnya. Hal itu membuat kesal Lintang.
***
“Sekarang silakan tugas MTK kemarin dikumpul. Bagi siapa nanti yang masih remidi juga, ada hukuman. Sebab materi kemarin sudah Bapak ulang-ulang sampai beberapa kali,” kata Pak Karim seusai tiba di depan kelas sebelas IPA.
Mimik murid-murid pun menjadi tegang, termasuk Lintang. Pasalnya selama ini mendapat nilai bagus untuk pelajaran Matematika adalah suatu keajaiban baginya. Maka dari itu, tak jarang dia mendapat nilai di bawah standar rata-rata dan selalu mengulang demi mendapat nilai yang lebih baik.
“Sekarang kumpulkan semua tugas kalian,” lanjut guru Matematika itu.
Dengan cepat ketua kelas pun mengambil buku tugas semua anggotanya. Lintang pun pasrah dengan nasib selanjutnya. Dia harus mengatur hati untuk bersiap-siap dengan hukuman yang telah disiapkan oleh Pak Karim.
Fielda menyerahkan buku tugasnya kepada ketua kelas berikut dengan senyuman penuh percaya diri. Sementara itu, Lintang dengan dada yang penuh dengan ragu memberikan buku yang diminta oleh Pak Karim.
“Baiklah. Terima kasih. Sekarang silakan pelajari terlebih dahulu pelajaran selanjutnya. Saya cek dulu satu per satu tugas kalian,” ucap guru berkumis tipis di depan kelas.
Beberapa saat Pak Karim meneliti semua hasil pekerjaan rumah siswa-siswinya. Satu per satu buku tugas yang bersampul seragam cokelat itu dibuka. Sesekali bibir itu membentuk senyuman sempurna. Namun, tak jarang dahinya juga berkerut dan menggeleng-geleng sejenak menandakan masih ada anak didiknya yang belum paham dengan selama ini yang diterangkannya.
“Ini sudah saya nilai semua. Tolong ambil dan bagi yang nilainya masih di bawah lima puluh harus tetap di kelas, mengerjakan tugas di halaman 35 buku paket. Tidak boleh istirahat sebelum selesai.”
Pak Karim memberi instruksi sebelum beberapa menit bel waktu istirahat berbunyi.
Lintang melirik Fielda. Ternyata Fielda bebas dari hukuman, lalu dia keluar untuk istirahat. Sementara itu, Lintang harus tetap duduk di posisi sebelumnya untuk mengerjakan tugas dari Pak Karim.
“Ih, sombong kali anak baru itu. Kok, bisa dia lolos,. Awas nanti akan aku kerjai dia,” kata Lintang dalam hati. Dia semakin tertantang untuk menaklukkan Fielda.
***
“Lintang, tolong bawa baju-baju yang sudah Ibu jahit itu ke rumah di ujung desa sana, ya,” titah Bu Darmi, ibunya Lintang yang berprofesi sebagai penjahit baju.
“Loh, biasanya disetor ke Wak Welni, Bu. Sekarang kenapa ke ujung desa?” tanya gadis yang sedang menonton televisi.
“Sudah, ikuti saja Ibu. Wak Welni itu hanya tangan kanan bos Ibu, sedangkan bos Ibu baru saja pindah ke sini dan tinggal di rumah baru yang di ujung sana. Hati-hati bawanya, ya. Banyak itu.”
“Iya, Bu,” balas Lintang dengan malas. Lantas, dia menuju ruang tengah mengambil barang yang diperintahkan ibunya.
Lintang mengayuh sepedanya santai menuju rumah yang dimaksud ibunya. Walaupun di sekolah dia selalu usil dan jahil, tetap saja urusan Ibu dia tak bisa menolak dan membangkang. Sebab, Lintang masih sadar bahwa surga itu di telapak ibu. Kalau sekali saja durhaka, surganya akan hilang. Tepat di rumah berlantai dua, Lintang memarkirkan sepedanya di bawah pohon matoa yang ada di halaman rumah itu.
“Wah, pantas saja bos konveksi. Rumahnya bagus dan luas,” lirihnya seraya mengambil barang yang akan disetor ke rumah itu.
Baru beberapa langkah Lintang menuju pintu rumah itu, tiba-tiba ada Fielda keluar dari rumah itu. Seketika Lintang terpaku beberapa saat.
“Lintang!” teriak Fielda beberapa kali.
“Eh, iya. Kamu kenapa keluar dari rumah ini?” tanya Lintang dengan nada agak gugup, melangkah mendekati Fielda.
“Ini, kan, rumahku. He-he-he. Kamu mau setor jahitan?” tanya Fielda sembari pandangannya mengarah ke barang bawaan Lintang.
“I—iya.”
“Ya, sudah masuk saja langsung. Di sana ada karyawan ibuku yang menerima. Aku tinggal dulu, ya, mau ke warung dulu sebentar ibuku menyuruh beli kerupuk tadi.”
Fielda berlalu meninggalkan Lintang. Akan tetapi, baru beberapa langkah Lintang menghentikan langkah teman barunya itu.
“Tunggu, Fielda!” Suara Lintang agak tinggi supaya Fielda yang sudah agak jauh mendengarnya.
“Ada apa, Lin?” Fielda mengerutkan dahi, alisnya menyatu.
“Anu. Maafkan aku, ya. Semenjak kamu datang aku sudah berniat tidak baik denganmu. Aku jahilin kamu,” jelas Lintang meski agak ragu.
“Oh, berarti yang memasukkan boneka cecak di tasku itu kamu?”
Lintang hanya mengangguk, pandangannya ke bawah. Dia tak sanggup menatap lawan bicaranya.
“Ya, sudah enggak pa-pa santai aja. Oh, ya aku harus cepat ini. Sudah ditunggu ibuku soalnya. Aku duluan, ya,” balas Fielda dengan santai. Lantas, segera berlari kecil menjauh dari Lintang saat ingat pesanan ibunya.
“Iya, Fielda. Mulai sekarang aku berjanji pada diriku sendiri supaya tidak lagi mengganggu orang lain,” lirih Lintang dengan melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah Fielda.
***
Riau, 3 Januari 2022.