Dalam suatu pertemuan yang hangat dengan rekan lama, salah satu obrolannya mendorong saya kembali memikirkan tentang sikap anti liyan terhadap keragaman.
Diskriminasi terhadap kelompok liyan selalu kita saksikan baik secara langsung atau dari gawai media sosial kita. Sebut saja penolakan kegiatan terhadap kelompok liyan, caci maki dalam konten media yang tidak lepas dari menyalahkan yang lain dan membanggakan diri. Itu semua merupakan bentuk sikap fanatisme yang mengakar dalam kehidupan kita.

Berawal dari obrolan ringan, tidak disangka tidak diduga, topik tersebut selalu membayangi pikiran penulis. Ada fakta yang sedemikian itu belum juga penulis temukan alasan logisnya yang dapat diterima. Bahkan, sebaliknya, hal itu hanya dapat merugikan pihak lain. Dari situ juga tak dapat kita elakkan nilai sinis yang bersifat negatif pun menghampiri identitas kita.
Dalam sejarahnya, sikap fanatisme yang sedemikian juga terdapat dalam kehidupan Islam di zaman kekhalifahan Cordoba. Sayangnya, justru sikap demikianlah yang menjadikan kemunduran kerajaan Islam.
Diriwayatkan bahwa terebutnya kerajaan Islam di Cordoba oleh kerajaan Kristen tak lain karena kuatnya sikap fanatisme yang mengakibatkan umat terpecah belah.
Selanjutnya, sejak runtuhnya kekhalifahan di Cordoba, hanya Dinasti al-Ahmar-lah satu-satunya masih bertahan kokoh. Namun, tak lama kemudian juga mengalami kemunduran yang serupa dengan sebab yang sama. Sikap fanatisme bermazhab menjebak mereka. Mereka bertaklid buta pada rumusan fikih Maliki generasi akhir. Bahkan meraka menghukumi seseorang yang tidak berpedoman sama dengan dirinya telah keluar dari agama (K A Muntaha, 2024).
Dari situ kita paham bahwa kemunduran dan pecah belah dapat terjadi, tiada lain karena sikap fanatisme yang mengakar dalam tubuh masyarakat . Dan itu hukum sejarah yang ‘ibrah-nya perlu kita petik dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata kini dan di sini, juga di Indonesia yang kehidupannya penuh dengan keragaman dan kemajemukan.
Karena, belajar menerima keragaman tidak hanya dari sejarah atau di dalam ruangan formal. Justru, belajar menerima keragaman dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja bagi kita dan mereka yang ingin menjadikan perbedaan sebagai rahim dari kerukunan dan kasih sayang antar sesama. Baik itu dari buku, film, bahkan juga lagu.