Dampak pandemi Covid-19 memang luar biasa. Akibat wabah virus Coronona ini, banyak orang terenggut nyawanya, banyak orang kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan, banyak orang tiba-tiba jatuh miskin. Gaya hidup orang juga mulai karena pandemi ini. Bahkan, sejak mewabah hampir setahun lalu, Covid-19 juga turut mendorong orang untuk bercerai dengan pasangannya. Angka percerai di Indonesia pun naik signifikan.
Data dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung memang menunjukkan tren naik angka perceraian selama lima tahun terakhir. Namun, pada 2020 ini, selama masa pandemi, kenaikan angka perceraian cukup signifikan.
Pada 2016, angka perceraian di Indonesia berjumlah 404.717 kasus, pada 2017 sebanyak 415.510 kasus, pada 2018 sebanyak 444.358 kasus, dan pada 2019 sebanyak 480.618 kasus. Pada 2020, dari Januari hingga Agustus saja, angkanya sudah mencapai 306.688 kasus, dan diperkirakan akan terus meningkat jika dilihat dari tren kasus perceraian di berbagai daerah.
Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, misanya, angka perceraian melonjak tajam di masa pandemi Covid-19 ini. Bahkan dalam satu bulan angkanya mencapai 1.000 kasus. Contoh lain daerah dengan lonjakan tertinggi kasus perceraian selama pandemi adalah di Gresik, Jawa Timur. Berdasarkan data perceraian di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Gresik, ada 1.058 angka perceraian sejak pandemi covid-19 melanda Gresik bulan Maret hingga Agustus.
Yang menarik, beberapa tahun belakangan, kasus perceraian yang didaftarkan di Pengadilan Agama merupakan gugat cerai dari pihak istri, angkanya berkisar 75-80 pesen. Ini berbeda, misalnya, dengan dua dekade belumnya. Saat itu, gugatan cerai kebanyakan diajukan oleh pihak suami.
Faktor Ekonomi
Fakta ini tentu membuat kita sadar dan yakin bahwa dampak pandemi Covid-19 begitu signifikan. Tak hanya berdampak dalam dunia pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Namun juga berbagai kehidupan keluarga.
Tak dimungkiri salah satu faktor meningkatnya angka perceraian dipicu pesoalan ekonomi. Saat pandemi melanda, banyak keluarga mengalami kesulitan ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau sumber penghasilan. Inilah salah satu faktor yang memicu terjadinya pertengkaran antara suami istri hingga berujung pada perceraian.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan angka perceraian melonjak drastis di masa pandemi ini. Pertama, masalah ekonomi tadi. Faktanya, banyak keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi karena disebabkan kehilangan pekerjaan atau sumber penghasilan sehingga tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kedua, masalah komunikasi. Tidak adanya keterbukaan dalam komunikasi menjadi faktor pendorong terjadinya perceraian di masa pandemi, yang mana antara suami dan istri tidak saling jujur dalam mengungkap masalah atau sesuatu yang dialami atau dipikirkan.
Ketiga, tidak bisa menerima kekurangan pasangan. Faktor ini juga menjadi sebab melonjaknya angka perceraian selama pandemi, karena suami atau istri tidak bisa menerima kekurangan satu sama lain. Misalnya, suami yang diberhentikan bekerja namun istri tidak bisa menerima kenyataan tersebut sehingga terjadi perceraian yang tidak diinginkan.
Keempat, pemenuhan kebutuhan pendidkan anak. Dalam keluarga, masalah kebutuhan pendidikan anak juga menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya angka perceraian di masa pandemi. Karena, pada masa sulit ini anak harus dihadapkan dengan situasi belajar secara online yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga bisa menjadi pemicu pertengkaran yang berujung pada perceraian.
Faktor-faktor yang menjadi pemicu perceraian selama masa pandemi Covid-19 ini ternyata berbeda dengan sebelumnya. Sebelum masa pandemi, terdapat empat faktor pemicu perceraian yang berbeda. Pertama, perselingkuhan. Perselingkuhan tidak asing lagi terjadi dalam rumah tangga, hal ini bisa terjadi kurangnya perhatian satu sama lain antara suami atau istri, atau tidak bisa saling menyenangkan antara suami dan istri.
Kedua, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebelum pandemi, KDRT sudah menjadi hal yang sering terjadi dalam memicu perceraian. Hal ini bisa terjadi karena sikap suami atau istri yang emosian dalam menghadapi masalah keluarga.
Ketiga, kedekatan dengan teman kerja. Rupanya, kedekatan dengan teman bekerja akan berdampak pada hubungan keluarga, karena antara suami dan istri akan timbul kecurigaan, kecemburuan, dan kesalahpahaman. Sehingga sangat mungkin memicu terjadinya percerain.
Keempat, kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk yang dimiliki suami atau istri juga akan memicu terjadinya perceraian, jika kebiasaan ini tidak bisa dimengerti oleh pasangan.
Menghindari Perceraian
Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pemicu terjadinya perceraian, terutama selama masa pandemi ini, tentu harus dicari solusi untuk menghindari terjadinya perceraian yang tak diinginkan. Sebab, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Seperti dikutip dari Boldsky, ada beberapa cara yang dapat ditempuh agar terhindar dari prahara rumah tangga ketika menghadapi masalah seperti adanya pandemi saat ini.
Pertama, temukan solusi bersama. Mencari solusi bersama sangat penting dilakukan oleh pasangan suami istri guna mempertahankan rumah tangga. Terutama dalam kondisi pandemi seperti sekarang. Jika terjadi masalah, temukan solusinya bersama, jangan memendam atau justru menceritakannya pada orang lain.
Kedua, tata ulang pengelolaan keuangan. Hal paling penting yang harus dilakukan suami istri di masa pandemi ini ialah mengatur ulang dan mengelola keuangan dengan baik. Misalnya, membatasi keperluan yang tidak terlalu penting atau mencari tambahan penghasilan.
Ketiga, terbuka dalam komunikasi. Pasangan suami istri seharusnya memang saling terbuka dalam berkomunikasi. Jika merasa ada yang tidak nyaman, maka diutarakan secara jujur kepada pasangan. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Setiap masalah dibicarakan bersama sehingga tidak menimbulkan kecurigaan yang nantinya berujung kepada perceraian.
Keempat, berpikir positif. Dengan Berpikir positif terhadap pasangan, akan menimbulkan kebahagiaan dan keharmonisan dalam berumah tangga sehingga bisa terhindar dari perceraian.
Kelima, intropeksi. Setiap orang pasti memiliki kebiasaan buruk, baik sebagai suami maupun istri. Untuk menjaga kestabilan dan keharmonisan rumah tangga, suami maupun istri memiliki kewajiban untuk intropeksi diri.
Keenam, meningkatkan keimanan. Salah satu hal yang paling penting dalam membangun keluarga adalah dengan selalu meningkatkan keimanan kepada Allah. Pasangan suami-istri bisa saling menguatkan keimanan di saat dilanda kesusahan untuk tetap bersama dan yakin bahwa apa yang Allah berikan itulah yang terbaik.