La syirqiyata wala gharbiyata, begitulah bunyi spanduk yang terpampang di atas pintu gerbang Kedutaan Besar Iran di Jakarta awal 1982. Sekitar dua bulan spanduk itu terpajang, tetapi banyak orang tidak ngeh terhadapnya, mungkin karena berbahasa Arab, tetapi juga bisa lantaran seolah tidak ada hubungannya dengan gejolak politik di Iran saat itu.
“Tidak ada [bukan] Timur dan tidak ada [bukan pula] Barat”, begitulah arti harfiah spanduk itu. Dengan spanduk itu, kita dapat menangkap bahwa Iran hendak menegasi (menggugat) pusat kekuatan kebudayaan (ideologi dan pengetahuan) yang selalu dirumuskan (disimbolisasi) dengan Timur dan Barat. Kekuatan ideologi dan pengetahuan Timur direpresentasikan oleh Arab dengan Mekah sebagai pusatnya, sedangkan kekuatan ideologi dan pengetahuan Barat direpresentasikan oleh Amerika dan Eropa Barat. Bagi Iran, Timur dan Barat tak lebih dari sebuah konstruksi politik yang bukan saja diproses secara politis tetapi juga diskursif, instabil bahkan seringkali menyesatkan.
Lalu di manakah posisi Murtadha Muthahhari di sini? Ia adalah salah seorang pemikir Iran terkemuka yang mencoba memengaruhi publik dunia dengan pikiran-pikiran cermerlangnya menyangkut Islam dan sosial politik. Seperti halnya pemikir Iran lain semisal Ali Syariati, ia telah mempublikasikan pikiran-pikirannya dalam berbagai bentuk dan banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam karya-karya tentang Islam dan keislaman oleh intelektual muslim Indonesia, misalnya, banyak kita temukan rujukan-rujukan kepada Muthahhari.
Korelasi antara pikiran-pikiran Muthahhari dengan suara resmi negara Iran saat itu memang masih merupakan persoalan yang harus diteliti lebih lanjut. Tetapi, penegasannya tentang al-Quran dan manusia (subjek) sebagai sumber terpenting darimana sejarah dan tata kehidupan dapat dibangun secara adil cukup menerangkan bahwa ia tidak percaya bahwa pusat kekuatan ideologi dan pengetahuan diletakkan secara permanen pada simbol-simbol geografis seperti Timur dan Barat.
Pusat, bagi Muthahhari, adalah al-Quran dan manusia sebagai subjek yang membaca dan melakukan perubahan-perubahan dalam konteks zaman, bukan Timur dan bukan pula Barat. Timur dan Barat sebagai pusat kekuatan kebudayaan (ideologi dan pengetahuan) adalah konstruktif dan diskursif. Di sinilah saya menangkap ada afinity antara Muthahhari dengan suara resmi Iran sebagaimana tertuang dalam spanduk di atas. Muthahhari sendiri menegaskan bahwa: “pribadi-pribadi (yang berasimilasi menjadi masyarakat) inilah yang menciptakan sejarah.”
Al-Quran dan Manusia: Pusat Perubahan
Seperti umumnya kaum muslim, Muthahhari yakin bahwa al-Quran mengandung ajaran-ajaran yang diperlukan manusia dalam menata hidup dan kehidupan pribadi maupun kolektif (masyarakat). Tetapi yang lebih menarik bagi Muthahhari adalah begitu banyak ayat-ayat al-Quran yang mengajak, menyeru, dan menyuruh manusia untuk berpikir logis (tafakkur). Tidak hanya ayat-ayat yang diakhiri dengan afala tatafakkarun, afala tatadabarun, dan afala ta’qilun, atau empat ayat dalam surat al-ghasyiyah yang memang secara eksplisit menyeru dan menyuruh untuk berpikir.
Salah satu ayat yang menarik perhatian Muthahhari adalah ayat 72 surat al-akhzab yang terjemahannya: “Dan sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua menolak untuk memikul amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya. Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh”. Sebuah ayat yang mengilhami penyair terkenal Persia, Hafizh asy-Syirazi untuk membuat sajak: “Langit tidak mampu memikul beban amanat, Si kerdil bernama aku dengan gila berjudi dengan itu.”
Barangkali kita menangkap bahwa ayat di surat al-akhzab itu hanya pekabaran biasa yang tidak menantang untuk berpikir lebih jauh. Akan tetapi, menurut Muthahhari, ayat itu menjelaskan suatu persoalan dengan menggunakan bahasa yang menimbulkan banyak pertanyaan dan memaksa akal manusia untuk berpikir. Amanat yang sudah sangat berat karena langit, bumi, dan gunung pun ternyata tidak sanggup memikulnya, tetapi mengapa manusia yang secara fisik tidak lebih kuat menyanggupinya.
Kata yahmiluha (memikulnya) dalam ayat itu mengartikan bahwa amanat yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat diemban oleh manusia, tetapi mengapa manusia yang mengembannya lalu disebut zalim dan bodoh, bahkan dengan menggunakan mubalaghah atau hiperbola yang berarti sangat zalim dan sangat bodoh? Simbolis, multitafsir, dan [seolah] paradoks dalam ayat itu jelas semakin memastikan bahwa ayat itu – dan ayat-ayat senada yang jumlahnya sangat banyak dalam al-Quran – menyeru untuk berpikir.
Ajakan, seruan, dan perintah untuk berpikir tersebut, sesulit apa pun, secara langsung dialamatkan kepada manusia yang mengimaninya, karena merekalah mukhatab (audien) utama al-Quran. Manusia, dengan demikian, mempunyai dua tugas sekaligus: memikul amanat yang menurut Muthahhari berarti taklif (tanggungjawab) dan tidak bersifat material; dan berpikir serius mengkaji ayat-ayat al-Quran untuk memproduksi dan mencari makna yang sesuai. Sudah pasti tidaklah ringan memikul dua tugas itu, tetapi justeru dengan diserahkannya dua tugas itu, manusia diposisikan sangat penting dalam menata dan menentukan kehidupan dirinya serta membuat sejarahnya sendiri. Manusia adalah majikan bagi nasibnya sendiri.
Mungkinkah? Muthahhari mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berakal dan sempurna penciptaannya. Ia adalah makhluk yang penciptaan dan pemeliharaan dirinya langsung bersumber dari dirinya. Ia memiliki kebebasan memilih, kemampuan mencipta, dan potensi mengemban tanggung jawab. Tetapi manusia juga makhluk sosial yang dilengkapi dengan nurani kemanusiaan.
Al-Quran, kata Muthahhari, berpandangan bahwa akal dan nurani manusia adalah bebas dan merdeka di hadapan keharusan masyarakat, keharusan sejarah, dan keharusan-keharusan lain, karena dalam pandangannya, fitrah Ilahi yang melapisi akal dan nurani kemanusiaan tetap dapat hidup dalam segala keadaan dan lingkungan. Al-Quran mengakui otentisitas manusia dan nurani kemanusiaan, karenanya ia tidak tunduk pada keharusan sejarah dan keharusan masyarakat, meski diakui bahwa keharusan-keharusan itu acapkali menjadi faktor-faktor yang berpengaruh.
Relativitas dan Keberagaman
Perspektif Muthahhari tersebut memastikan bahwa manusia berikut akal dan nurani kemanusiaannya menjadi pusat darimana sejarah peradaban dibangun dan dikembangkan secara dinamis. Seluruh perkembangan dan perubahan bertitik-pangkal pada manusia dan nurani kemanusiaan. Begitu pula nilai kesesuaian dan penyimpangannya diukur dengan seberapa jauh perubahan (kenyataan) itu berarti (bermanfaat) bagi manusia dan kemanusiaan.
Pada sisi yang lain, dengan perspektif itu pula, Muthahhari berpandangan bahwa tidak seluruh ayat-ayat al-Quran, ajaran agama, dan nilai-nilai mengandung kemutlakkan, tunggal, bersifat tetap, dan tanpa perubahan, apalagi ideologi, konsep-konsep keilmuan, kebudayaan, dan peristiwa-peristiwa penting seperti ritual keagamaan.
Sebaliknya, Muthahhari percaya bahwa sebagian dari ayat-ayat bersifat dhonni, multi-tafsir, dan selalu mengalami perubahan pemaknaan. Demikian pula sebagian ajaran agama, nilai-nilai dan perilaku keagamaan yang tersusun atas dasar penafsiran ayat-ayat al-Quran dan perkembangan etnografis (kebudayaan) dan lingkungan ekologis tertentu, meminjam istilah Muthahhari, bersifat relatif.
Dalam salah satu tulisannya, Muthahhari mengajukan contoh relativitas nilai baik-buruk, akhlak, dan hijab yang berlaku di kalangan kaum muslim di berbagai tempat dan zaman yang berbeda. Ruang dan waktu sangat berpengaruh pada terjadinya relativitas itu. Bahkan Muthahhari lebih tegas mengatakan bahwa di luar semua itu, seperti ideologi, konsep-konsep keilmuan, kebudayaan, dan peristiwa-peristiwa keagamaan, seluruhnya bersifat relatif, diskursif, dan tidak pernah tetap karena mengandung instabilitas dalam dirinya, bukan hanya karena ruang dan waktu yang berbeda melainkan juga karena disusun atas dasar kenyataan dan kepentingan yang tidak tetap.
Pandangan Muthahhari tentang ralativitas tersebut mengingatkan kita pada dua hal. Pertama, partikularitas agama dan keberagamaan yang selama ini menjadi kenyataan historis di berbagai tempat, sebuah kenyataan yang diprihatinkan oleh pemeluk agama puritan dan selalu berusaha menunggalkannya. Andre Beatty yang melakukan penelitian mikro (di satu desa) di Banyuwangi, hanya sebuah contoh, mengaku betapa sulitnya menemukan totalitas, ketunggalan, dan ke-satu-an dalam kehidupan muslim di desa itu. Yang ada adalah partikularitas, diversitas, dan keberbagaian yang berjalan secara dinamis.
Kedua, otentisitas, orginalitas, dan keaslian seperti yang diklaim oleh sebagian pemeluk agama. Relativitas atau perubahan dinamis tersebut menyulitkan kita untuk membayangkan semua itu, karena proses silih-berganti yang terus-menerus berlangsung.