Namaku Ananda. Aku tidak pernah menyadari di mana aku berada. Aku ditakdirkan mengenal dua manusia yang sangat baik hati dan penyayang. Aku memanggilnya Ibu, jika yang kudengar suara perempuan, dan Ayah jika suara laki-laki. Namun entah, aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa mereka. Bu Desi, guruku, bilang, bahwa kita yang dapat bicara disebut manusia.
Kata Bu Desi, manusia ada banyak; ada manusia yang rakus macam tikus, doyan makan apa saja dan dengan segala cara; manusia macam singa yang merajai satu kawasan karena banyak harta dan punya kekuasaan. Maka aku tak tahu, mereka termasuk jenis manusia mana.
Sebenarnya tidaklah penting mengetahui keberadaan, bukan? Kata Ibu, di manapun tempat, jika kau punya alasan untuk bahagia, maka tidak masalah. Mataku selalu melihat gelap. Entah apa, aku tidak mengetahui warna. Kata orang, warna ada banyak– hitam, kuning, putih, merah, hijau, dan masih banyak lagi.
Orang bilang, dunia adalah tempat yang indah, tapi tidak pernah aku melihat dunia. Aku tak tahu, apa mata semua orang dapat melihat bentuk mataku sipit atau lebar, hidungku mancung atau pesek, atau apapun yang ada di sekitarku.
Sering kumengeluh pada Ibu dan Ayah soal kenapa yang kulihat hanya gelap. Ibu bilang bahwa aku tidaklah berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. “Kau hanya melihat dengan cara yang berbeda, An.”
“Kalau orang dapat melihat dengan mata, kau dapat melihat dengan hati,” kata ibu. “Kau dapat melihat dengan cara mencium dan meraba. Kalau kau mencium bau anyir dan amis, maka rabalah bentuknya. Jika kau temui cair, maka itu namanya darah. Jika padat dan kasar, maka itu namanya daging sapi yang tidak segar.”
Jika pagi datang, aku duduk di kursi depan rumah. Ibu menyuguhkan teh panas. Kurasai tubuhku terasa hangat. Ayah bilang bahwa itu adalah matahari. Aku tidak pernah melihat matahari.