Meski berhasil melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat konflik di Afghanistan, namun mengajak mereka untuk berdialog dan berunding bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, setelah melakukan berbagai pendekatan akhirnya mereka bersedia diajak datang ke Indonesia untuk berunding.
Ketika mereka bersedia berunding dan datang ke Indonesia, hambatan justru datang dari berbagai pihak yang tidak menginginkan perundingan itu terjadi. Panitia mendapat berbagai tekanan, mulai persoalan adminsitrasi sampai ancaman keamanan.
Pendeknya, setelah melalui berbagai perjuangan yang berliku dan rumit, akhirnya NU berhasil mendatangkan para tokoh dan ulama Afghanistan yang berkonflik ke Indonesia untuk berunding mencari jalan damai. Pertemuan dilaksanakan pada September 2018 di Jakarta. Atas prakarsa NU, pertemuan antar-para pihak yang berkonflik di Afghanistan berhasil dilaksanakan
Hadir dalam pertemuan tersebut adalah Mr. Wakil Ahmad Mutawakkil (Mantan Menlu Taliban) sebagai pimpinan delegasi; Mr. Abdussalam Zaef (Dubes Taliban di Islamabad Pakistan); Mr. Muhammad Ishaq Safi (Direktur Radio Syariah Taliban); Mr. Abdussalam Rocheti (Komandan Taliban Wilayah Timur). Para delegasi ini didampingi oleh Dr. Abdul Ghani Kakar, Ketua NU Afghanistan.
Dari pihak NU yang hadir adalah KH As’ad Said Al (mantan Wakil Ketua Umum PBNU); Ichsan Malik (Coordinator Peace Psycology Programme of University of Indonesia); Letjen TNI (Purn.) Nono Sampono (DPD RI); Andul Mun’im DZ (Wasekjen PBNU); Letjen TNI (purn.) Anshori Tajudin (Mantan Dubes RI Untuk Afghanistan); KH Ubaidillah Shodaqoh (Rois Syuriah PWNU Jateng); dan KH Masyuri Malik (Mantan Ketua Lazisnu PBNU).
Pertemuan berjalan dalam suasana penuh keakraban, terbuka, dan cair. Bayangan terjadinya dialog yang keras, sangar, dan saling ngotot sama sekali tidak terjadi. Mereka mengaku sangat terkesan degan suasana Indonesia yang ramah dan damai.
Dalam sambutannya, Kepala Delegasi Taliban, Mr Wakil Ahmad Mutawakkil, menyampaikan: “Kami senang bisa datang dan menyaksikan Indonesia sebagai negara yang damai yang penduduk Islamnya terbesar di dunia. Yang bersatu, di mana persatuan itu dibentuk melalui musyawarah antar–warga negara yang berbeda suku dan agamanya. Karena itu tidak aneh kalau pimpinan kami, Amirul Mu’minin Mulla Umar, berharap pada pemerintah Indonesia dan NU untuk membantu proses perdamaian di negeri kami. Dialog ini merupakan langkah penting untuk mengakhiri perang yang sudah berlangsung selama 42 tahun di negeri kami.”
Sambutan ini disampaikan dengan intonasi dan bahasa yang lebut dan santun, tidak keras meledak-ledak.
Dalam sambutan sebelumnya yang disampaikan KH As’ad memang sempat disinggung surat dari Mulla Umar, pemimpin spiritual Afghan yang disegani oleh Taliban. Kyai As’ad juga menunjukkan bukti fisik surat yang ditulis oleh Mulla Umar kepada delegasi Taliban.
Dalam surat itu disebutkan, beliau mengucapkan terima kasih kepada NU dan Pemerintah RI atas bantuannya mengatasi krisis sandra Korea Selatan. Selanjutnya Umar meminta agar Indonesia meluruskan cintra tentang Taliban, bahwa Taliban bukan teroris, tetapi pejuang. Beliau juga meminta agar NU membantu menyelesaikan konflik di Afghanistan.
Disebutkan dalam catatan KH Mun’im, saat melihat surat yang ditulis Mulla Umar, para delegasi Taliban tercengang dan secara spontan berteriak “Amirul Mukminin.” Mereka tidak menyangka kalau NU mendapat amanat langsung dari pemimpin besar mereka untuk mengupayakan perdamaian.
Hal itu membuat mereka semakin percaya kepada NU, karena melihat bahwa apa yang dilakukana NU merupakan amanat langsung dari pimpinan mereka, bukan karena kepentingan politik atau ekonomi. Menganai suasana dialog, isi dialog, dan hasilnya akan penulis paparkan lebih detail dalam tulisan berikutnya.
Setelah melakukan dialog, mereka diajak keliling bertemu dengan para pemimpin negara; Ketua DPD RI Oesman Sapta, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan keliling ke beberapa pesantren di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mereka sangat terkesan saat mengunjungi pesantren, terutama ketika melihat para santri yang masih kecil-kecil berdiri membentuk pagar betis menyambut kedatangan mereka sambil bersalaman mencium tangan. Bahkan di antara mereka menangis terharu melihat kenyataan ini. “Bagaimana bisa mendidik dan mempersiapkan anak-anak dengan akhlak mulia seperti ini,” tanya seorang delegasi.
“Ini bisa kita lakukan kalau negara dalam keadaan damai. Kita tidak mungkin bisa menyiapkan generasi muda berakhlak dan berkualitas jika negera kita terus dalam kondisi kacau karena konflik dan peperangan. Dan itu sama saja dengan kita membunuh masa depan Islam,” demikian jawaban Kiai As’ad atas pertanyaan dari delegasi Taliban tersebut.
Mendengar jawaban ini, mereka semakin terharu. Para delegasi ini mulai membayangkan bagaimana kehidupan yang damai di pesantren ini bisa diwujudkan di negeri mereka. Mereka ingin anak-anak Afghanistan bisa mengaji di pesantren seperti anak-anak Indonesia. Mereka ingin anak-anak Afghanistan bisa menyambut tamu dengan alunan Selawat Badr sambil mencipum tangan para ulama. Dari dialog dan kunjungan ke pesantren inilah mulai terjadi perubahan pemikiran di sebagian pemimpin Taliban.
Sebagai tindak lanjut dari dialog dan anjangsana ini, PBNU memberikan beasiswa kepada mahasiswa Afghanistan untuk belajar di perguruan tinggi dan pesantren di Indonesia. Pada gelombang pertama, ada 25 orang mahasiswi dan beberapa orang mahasiswa yang belajar di Semarang, Surabaya, dan Malang. Ada di antara mereka yang sudah lulus dan kembali ke Afghanistan dan beberapa di antaranya masih melanjutkan kuliah Indonesia.
Apa yang dilakukan NU di Afganistan merupakan langkah awal dan masih berupa rintisan yang menjadi bagian penting dari agenda NU menciptkan perdamaian dunia. Langkah ini harus terus dilanjutkan, karena meski kecil namu memiliki makna besar bagi umat dalam upaya menciptakan perdamaian dunia yang sedang berada di tubir konflik.
Diplomasi budaya dan pendekatan merajut hati yang dilakukan NU dalam membangun jalan damai di Afghanistan ini merupakan bahan kajian yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini tidak saja berguna untuk membangun strategi perdamaian, tetapi juga bisa menjadi sumbangan penting bagi dunia akademik.