Nyai Masnunah, Aktivis dan Ulama Perempuan

604 kali dibaca

Belum lama ini saya mengikuti suatu kegiatan pengkaderan dalam suatu organisasi pergerakan mahasiswa yaitu Sekolah Kader Kopri. KOPRI adalah Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri, badan semi otonom dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ruang lingkup materi yang dibahas cukup luas dan berat, sehingga membutuhkan pemateri yang memiliki kapasitas lebih tentang isu keadilan gender dalam Islam.

Masih ingat betul, kegiatan tersebut diadakan di rumah dinas Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Ibu Hj Hindun. Tema yang diusung adalah “Aktualisasi Gerakan Perempuan dalam Menghadapi Ketimpangan Sosial dan Kerusakan Lingkungan”.

Advertisements

Uniknya, kegiatan tersebut memiliki konsep live in di suatu desa untuk mempraktikkan ilmu yang sudah didapat saat penyampaian materi. Sebelum agenda live in, tepatnya pada hari kedua, saya dan teman-teman dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Ibu Nyai Masnunah dalam forum materi “Analisis Sosial Perspektif Feminis”.

Perjumpaan pertama itu mebuat saya langsung jatuh cinta dengan beliau karena kedalaman ilmu serta keluasan kiprahnya baik di ranah domestik maupun publik. Saya merasa menemukan mutiara yang selama ini saya cari, yaitu konsep hakiki keadilan gender. Dua jam terasa cepat berlalu, rasanya ingin meminta kelebihan waktu agar saya bisa meneguk ilmu lebih dalam dari pemahaman beliau yang moderat dan humanis itu.

Berkat perantaraan beliau, saya lebih yakin bahwa Islam hadir membawa keadilan untuk semua manusia tanpa memandang jenis kelamin apapun. Rasanya tidak mungkin jika Islam akan membedakan laki-laki dan perempuan di luar konteks biologisnya.

Al-Qur’an adalah rahmat Allah yang sangat luar biasa apalagi dibawa dan disebarkan oleh manusia mulia, yaitu Nabi Muhammad Saw yang ditemani oleh malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah firman Allah yang merupakan petunjuk bagi setiap manusia dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Maka subjek yang dimaksud di dalamnya adalah laki-laki dan perempuan. Hanya, pemahaman Al-Qur’an seringkali masih dibumbui kepentingan pribadi, sehingga hasil tafsirnya tidak menutup kemungkinan akan menuai ketimpangan gender.

Hari berganti bulan, hingga tiba masa di mana saya mendapat amanat untuk menjadi Ketua KOPRI Komisariat di IAIN Pekalongan yang sekarang beralih menjadi UIN KH Abdurrahman Wahid. Hal ini merupakan kenikmatan sekaligus tanggung jawab yang luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak? Saya diminta untuk menakhodai lembaga yang memiliki fokus terhadap keadilan gender di tengah-tengah lingkungan yang masih cukup patriarkis. Namun, Allah Maha Adil, saat yang bersamaan saya mendapat kenikmatan untuk berjumpa sekaligus mengenal lebih dekat dengan Ibu Nyai Masnunah.

Sowan adalah budaya yang sangat lumrah di lingkungan PMII. Langkah pertama saya dalam memimpin KOPRI Komisariat adalah sowan kepada alumni untuk meminta doa serta arahan. Walaupun, Ibu Nyai Masnunah bukan alumnus struktural PMII Cabang Pekalongan, namun beliau pernah menjadi Ketua PMII Cabang Wonosobo saat masih kuliah di UNSIQ.

Pertemuan kala itu menghasilkan gagasan pemikiran dari beliau untuk arah gerak KOPRI. Beliau berpesan agar KOPRI mampu menjadi kompas pergerakan, meneguhkan ideologi Aswaja, dan menggunakan gender sebagai pisau analisis dalam membuat kebijakan.

Sebelum memutuskan untuk sowan kembali, saya mendapat kabar gembira bahwa beliau sedang promosi program doktoral di UIN Walisongo. Disertasi yang beliau angkat adalah “Pendidikan Karakter Berbasis Kurikulum Muatan Lokal (Studi Kasus di MASS Simbang Kulon dan MASS Proto Kabupaten Pekalongan). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan gender yang beliau dan suaminya, Kiai Mustof, terapkan. Kiai Mustofa adalah sosok suami yang memberikan kesempatan istrinya untuk mengeksplor potensi yang dimiliki sekaligus memberikan ruang pendidikan yang luas.

Kepiawaian, keilmuwan, konsep pikiran, dan gagasan beliau sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Maka tidak heran jika beliau diamanati tanggung jawab sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU periode 2015-2020. Progres yang baik menjadikan beliau kembali dipercaya untuk menjadi Ketua Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU periode 2020-sekarang. Tidak hanya itu, ibu dari empat anak ini tetap konsisiten berkhidmat sebagai guru non-ASN di MAN Pekalongan sejak tahun 2005-sekarang. Bukan hanya guru, beliau juga seorang dosen di ITS NU Pekalongan.

Kemampuan hebat beliau tidak lepas dari sejarah panjang pendidikan yang ditempuh sejak kecil. Perempuan kelahiran 3 Desember 1975 ini memulai pendidikannya di SDN Paninggaran, MTs Sunan Pandanaran Yogyakarta, MASS Simbang Kulon, S1 UNSIQ Wonosobo, S2 UNWAHAS, dan S3 UIN Walisongo Semarang. Pemahaman agama beliau dapatkan saat masih nyantri di Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta dan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Wonosobo.

Saya dan teman-teman memberanikan diri untuk sowan lagi kepada beliau dengan maksud yang berbeda. Sesuai dengan salah satu program kerja KOPRI adalah kajian kitab Risalatul Mahid, sebagai bekal fikih perempuan yang harus dimiliki oleh seluruh kader putri karena hal ini berkaitan erat dengan urusan ibadah setiap hari seperti salat.

Sesampainya di sana, beliau memberikan saran untuk mengganti kitab kajiannya. Bukan tanpa alasan, melainkan beliau menganggap ilmu ini sudah didapatkan sahabat-sahabat KOPRI semasa nyantri. Kalaupun ada yang belum, bisa dipelajari bersama melalui berbagai media karena pada dasarnya ilmu haid adalah ilmu yang sudah pasti kebenarannya. Beliau berharap kader KOPRI perlu dibekali ilmu yang lebih dalam tentang hadis.

Tanpa bermaksud mengintervensi, beliau menawarkan untuk mengkaji kitab Uqudul Ujain atau Hadis Arbain Nawawi. Tanpa diskusi panjang, kami sepakat untuk mengkaji kitab Hadis Arbain Nawawi secara lebih dalam bersama kader PMII ITS NU Pekalongan, dan beliau adalah salah satu anggota majelis pembina PMII komisariat tersebut.

Saya melihat relasi kebermanfaatan yang dilakukan oleh beliau dan suaminya. Bersama Kiai Mustofa, Ibu Nyai Masnunah merintis dan mengelola Pondok Pesantren Nurul Falah MAN Pekalongan, mendirikan SDIT Bahrul Ulum pada tahun 2010, dan mendirikan Pesantren Darul Dzikir yang bermotto zikir, fikir, amal saleh sesuai dengan trimotto PMII.

Dukungan dan kepercayaan menjadi dasar relasi Ibu Nyai Masnunah bersama suaminya. Kedunaya sama-sama mengoptimalkan potensinya untuk menebar kemanfaatan kepada masyarakat. Relasi sehat dapat membangun generasi yang bermartabat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan