Ini kisah tentang sosok Nyai Rahmatun, perempuan pendakwah yang mampu mengangkat marwah kaumnya di tengah-tengah masyarakatnya yang patriarkis. Ia akan terus menjadi sosok inspiratif bagi perempuan Madura untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Sosoknya akan ditulis secara berseri, dimulai dari masa kecilnya saat ia masih gadis cilik namun sudah menaklukkan dunia laki-laki.
Ia terlahir dengan nama Rahmatun. Lahir di Sumenep, Madura, tepatnya di Desa Moncek, Kampung Tengah, pada 15 Juni 1945. Ia wafat di tempat kelahirannya pada 14 September 2019, atau 14 Muharram 1441 Hijriah, dalam usia 74 tahun.
Nyai Rahmatun adalah salah satu putri dari KH Muhammad Nur bin KH Abdul Karim bin KH Zaidin bin Syekh Farwiyah bin Syekh Rembang bin Syekh Umar Al-Yamani dari Kudus. Ibundanya adalah Nyai Zahrah.
Dalam usia 14 tahun, Nyai Rahmatun dinikahi oleh sepupunya sendiri, yang tak lain adalah K Ali Wafa. Pernikahan terjadi 1959 dengan maskawin uang dua ringgit. Akad nikah pasangan ini dilakukan di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, tempat mondok suaminya. Mereka menikah dihadapan Almaghfur lahu KH Muhammad Ilyas. Dan dari pernikahannya ini, Nyai Rahmatun dikaruniai 9 anak; lima laki-laki dan empat orang perempuan. Meraka adalah Alimah, Ahmad Wakid, Fachruddin Arrazy, Fauzan Adzima, Ma’rufah, Ali Faruq, Mursyid Afif, Nuria Ulfah Tamamah, dan Milatul Hasanah.
Rahmatun tergolong sosok perempuan yang cukup, pintar, cerdas, dan hiperaktif. Salah satu tandanya adalah selalu ingin tahu banyak hal. Seperti diceritakan oleh Manidah (kini almarhumah). Suatu hari, ayahnya, K Nur, melarang Rahmatun bermain dekat-dekat pohon sawo. Sembari ditakut-takuti bahwa banyak jin yang bersarang di pohon sawo.
Namun, secara diam-diam, Rahmatun justru mengajak teman-temanya yang sekaligus santri, bukan bermain di bawah rindangnya pohon sawo, namun malah memanjatnya. Bukannya takut, malah penasaran dengan sosok jin.
Saat itu, pada awalnya teman-temannya menolak ajakannya karena takut. Tak kurang akal, Rahmatun yang masih gadis kecil itu meyakinkan teman-temannya bahwa justru jin yang akan ketakutan kepada manusia yang membaca taawwudz, ayat kursi, dan kalimat-kalimat thayyibah lainnya. Jin itu, katanya kepada teman-temannya, akan lari terbirit-birit dan terbakar oleh bacaan-bacaan itu. Atas bujukannya itu, teman-temannya menjadi luluh, dan sambil komat-kamit mulailah mereka satu per satu memanjat pohon sawo hingga ke atas — dan tentu saja mereka tidak pernah melihat jin di sana.
Mantab,, sosok yang sangat inspiratif, bukan hanya bagi kaum perempuan saja, tetapi juga bagi kalangan laki-laki juga. Perempuan hebat di waktu yang tepat dan di tempat bermartabat. Pastinya, menunggu bagian selanjutnya.
Oh, ya, jika memungkinkan saya ingin Nyi Milatul Hasanah juga mengangkat sosok Nyi Towan Warits. Sekiranya ta’ Cangkolang,,,
Insya Allah karena beliau masih sapopoh Ny Rahmatun juga. Terimakasih apresiasinya🙏