Nyai Rahmatun (2): Belajar Politik Jadi Jurkam

84 views

Bukan hanya dikenal sebagai pendakwah. Nyai Rahmatun ternyata juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Juga aktif di sebuah organisasi massa perempuan yang diakui secara nasional. Bahkan pernah menjadi juru kampanye (jurkam) partai politik saat pemilihan umum di masa itu. Namun panggung politik itu segera ditinggalkannya.

“Hanya untuk belajar politik,” demikian Nyai Rahmatun beralasan.

Advertisements

Saat itu, pada awal 1990-an, di desanya, Desa Lenteng Barat, ada tokoh yang sangat berpengaruh, masyhur, kaya raya, namun nyentrik dan controversial. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai waliyullah. Tokoh tersebut tak lain adalah KH Masyhurat.

KH Masyhurat ini sering mengundang Nyai Rahmatun untuk berceramah. Bahkan, sudah menjadi langganannya. Setiap KH Masyhurat mengadakan acara, yang diundang untuk berceramah ya Nyai Rahmatun. Karena itu, ketika KH Masyhurat menggelar kampanye untuk partai yang didukungnya, yang diminta menjadi jurkam ya Nyai Rahmatun juga. Bahkan, saat itu, Nyai Rahmatun ini satu-satunya jurkam perempuan.

Karena itu, setiap penyelenggaraan pemilu, jadwal kampanye Nyai Rahmatun sudah pasti penuh. Hal itu berdampak pada aktivitas dakwahnya. Banyak undangan ceramah yang tidak bisa dihadiri atau dibatalkan. Lama-lama, Nyai Rahmatun akhirnya menyadari bahwa keterlibatannya dalam dunia politik hanyalah bersifat sementara dan bukanlah menjadi prioritas utamanya. Niatnya hanya ingin tahu seluk beluk kehidupan politik praktis di tanah air, khusunya di daerahnya.

Yang menjadi perhatian utamanya tetaplah bagaimana mengayomi masyarakat, khususnya kaum perempuan di bidang ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini ilmu keagamaan. Sehingga pada akhir tahun 1990-an, atas inisiatif sendiri, Nyai Rahmatun tidak aktif lagi dan berhenti total di partai politik mana pun.

Setelah turun dari panggung politik, selanjutnya Nyai Rahmatun dapat mengabdikan seluruh waktunya untuk kepentingan dakwah. Dengan selalu didampingi suaminya, kini Nyai Rahmatun dapat memenuhi semua agenda dakwahnya.

Bahkan, di antara agenda dakwahnya yang menarik adalah blusukan ke ke desa-desa terpencil, seperti Desa Kotabang Ganding, Bataal, Rombiya, Karduluk, Banaresep, dan lain sebagainya. Di desa-desa terpencil itu, Nyai Rahmatun selalu mengajak dan mendorong kaum perempuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sebanyak mungkin tanpa mengenal batasan usia, status, dan profesi, dengan “pendekatan kekeluargaan”. Sehingga masyarakat merasa nyaman karena tidak adanya kesenjangan antara dirinya sebagai pendakwah dengan mereka sebagai masyarakat awam.

Selain itu, Nyai Rahmatun juga pernah mendirikan perkumpulan khusus remaja putri dan satu kelompok lagi khusus para perempuan lansia. Di perkumpulan remaja putrid, Nyai Rahmatun menginisiasi program pembinaan bakat seperti murotal Al-Quran bit taghanni (dengan lagu dan irama tertentu), baca puisi, mendendangkan selawat Nabi, pidato dalam bahas Madura, dan lain-lain yang diadakan di rumah masing-masing anggota perkumpulan secara bergilir. Sedangkan, untuk para lansia, Nyai Rahmatun mengajarkan baca tulis Arab dan Latin, seperti huruf abjad dan huruf hijaiyah, yang juga diadakan di rumah masing-masing anggota secara bergiliran.

Terobosan lain yang digerakkan Nyai Rahmatun adalah kampanye menolak pernikahan anak-anak di usia dini. Gerakan ini wajar, mengingat saat itu mayoritas perempuan pedesaan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu kelas 4 atau kelas 5 SD atau umur 10 sampai 12 tahunan. Dan, jarang sekali ada perempuan yang menamatkan Sekolah Dasar.

Saat itu, memang hanya anak laki-laki yang dituntut untuk menamatkan Sekolah Dasar atau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Hanya laki-laki juga yang diperbolehkan menikah dan bekerja setelah lulusan sekolah. Sedangkan, bagi anak perempuan, ketika sudah menikah, mereka dilarang untuk bersekolah. Juga tidak diperbolehkan aktif di ranah publik karena dianggap sudah mempunyai tanggung jawab moril di ranah domestik.

Padahal, menurut Ny Rahmatun, seperti yang diceritakan oleh Nazirah yang merupakan salah seorang anggota majelis taklimnya (yang sekarang masih hidup), seharusnya laki-laki dan perempuan diperlakukan sama dalam hal pendidikan. Status suami-istri tidak boleh disamakan dengan dengan atasan dan bawahan, tetapi sebagai mitra yang saling menghormati, menyayangi, melengkapi, dan menghargai satu sama lain.

Maka salah satu cara untuk memuluskan terobosan terbarunya tersebut, santri dan siswa yang mengenyam pendidikan di lembaganya tersebut disarankan agar menyelesaikan pendidikan formalnya, minimal di tingkat Madrasah Tsanawiyah  (MTs) atau Madrasah Aliyah (MA), sambil diberi pemahaman kepada wali santri dan murid akan pentingnya ilmu dan pendidikan bagi kaum perempuan.

Untuk menyasarkan masyarakat, terutama kaum perempuan, akan pentingnya ilmu, Nyai Rahmatun selalu menyitir potongan ayat Al-Quran  surat Al-Mujaadalah ayat 11, yang artinya “Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Selain itu, Nyai Rahmatunbeliau juga mempopulerkan slogan “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, dan belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air.

Keadaan yang menyedihkan semacam itu perlahan namun pasti semakin terkikis oleh kegigihannya dalam melakukan perubahan total akan model-model lama, yang memosisikan perempuan “hanya” sebagai empu penjaga kasur, sumur, dan dapur, dan tidak berhak mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Multi-Page

2 Replies to “Nyai Rahmatun (2): Belajar Politik Jadi Jurkam”

Tinggalkan Balasan