Nyai Syarifah: Pilar Perjuangan Pesantren Al-Hidayah Manyaran

38 views

Sejarah berdirinya sebuah pesantren seringkali diwarnai dengan kisah perjuangan yang luar biasa. Salah satu kisah itu hadir dari Pesantren Al-Hidayah Manyaran. Di balik berdirinya pesantren itu, ada jerih payah perjuangan sosok wanita yang bernama Nyai Syarifah.

Pondok Pesantren Al-Hidayah berlokasi di Desa Manyaran, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sebelumnya, pesantren ini lebih dikenal dengan nama Pesantren Minggirsari.

Advertisements

Kisah ini diambil dari narasumber almarhum ayah saya sebelum beliau meninggal dunia pada 2019. Penulisan kisah ini untuk mengenang perjuangan sosok perempuan di balik berdirinya Pesantren Al-Hidayah.

Jejak Laskar Diponegoro

Berakhirnya Perang Jawa ditandai dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda sekitar tahun 1830. Peristiwa ini menyisakan laskar-laskar yang melarikan diri ke wilayah Jawa Timur. Para laskar Diponegoro tersebut kemudian membuka daerah baru. Uniknya, mereka selalu menanam pohon sawo di daerah yang baru dibuka sebagai sebuah tanda.

Salah satu laskar pasukan Diponegoro membuka daerah baru di tepi sungai Bendo Krosok yang kemudian disebut sebagai Minggirsari. Beliau bernama Mohamad Hasan bin Basar, atau singkatnya dijuluki Hasan Sepuh. Tidak sendirian, beliau ditemani seseorang yang juga bernama Hasan. Karena masih remaja, ia sebagai Hasan Anom.

Beberapa tahun setelah mukim di Minggirsari, Hasan Sepuh menikah dan memiliki putra. Putra keduanya lahir sekitar tahun 1845 dan diberi nama Moh Suryan. Pada tahun 1840, lahirlah seorang putri yang dikenal dengan nama Nyai Menggik. Menginjak usia 15 tahun, Nyai Menggik kemudian dinikahkan dengan Hasan Anom.

Pada tahun 1880, Moh Suryan menikah dengan seorang putri dari Desa Gayam dan dikaruniai putra pertama dengan nama Moh Toyyib. Beberapa tahun kemudian lahirlah putra kedua, ketiga, hingga kelima.

Moh Toyyib berguru dan mengaji kepada Kiai Jawahir yang berasal dari Dusun Suruh, Ngronggot, yang nasab ayahnya bersambung dengan keluarga Banjarmlati, Kediri. Setelah cukup berguru kepada Kiai Jawahir, pada tahun 1908, Moh Toyib dinikahkan dengan putri gurunya, Kiai Jawahir, yang bernama Nyai Syarifah yang kala itu berusia 15 tahun. Karena Nyai Menggik tidak dikarunia putra, maka keponakannya, Mo Toyyib, diminta agar mukim di Minggirsari, Manyaran.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan