Oh Buku…

323 kali dibaca

Hari ini, 17 Mei, dengan “gaya-gayaan” kita memperingati Hari Buku Nasional atau Harbuknas. Tapi entahlah apakah itu masih ada gunanya. Sebab sudah begitu lama kita menjadi bangsa yang nyaris sempurna abai pada buku. Dan hari ini buku sudah sampai pada ambang kematiannya.

Setidaknya saya, entahlah orang lain, selalu menemui dua masalah ketika hendak memperoleh buku-buku baru. Yang pertama harganya terus semakin mahal. Yang kedua semakin sulit menemukan buku-buku berkualitas tinggi, bermutu, dan tentu saja yang mencerdaskan, yang mampu mengisi kekosongan rongga jiwa dan pikiran.

Advertisements

Kita tahu, tingkat literasi bangsa ini masih rendah, masih kalah jauh dari bangsa-bangsa lain. Jika frasa “tingkat literasi rendah” masih sulit dipahami, itu artinya kita masih bodoh dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Tapi kenapa, buku sebagai sumber pengetahuan, justru seperti menjadi barang mewah nan langka. Selain harganya mahal, juga tak tersedia secara memadai.

Padahal, tak ada bangsa maju tanpa dimulai dari masifnya penyebaran buku-buku bermutu. Contoh terdekat adalah Jepang. Sejak abad ke-17, Jepang sudah memulai tradisi penyebaran buku ke seantero negeri, yang diawali dengan penerjemahan buku-buku asing baik dalam Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, maupun lainnya. Hanya dalam hitungan pekan, bukan tahunan, buku bermutu yang baru diterbitkan di negara manapun, langsung diterjemahkan dan beredar di Jepang. Tradisi itu terus berlangsung hingga hari ini, hingga akhirnya Jepang juga menjadi salah satu negara penghasil buku terbaik di dunia, termasuk genre komiknya.

Sejarah literasi Jepang itu menunjukkan bahwa penyediaan buku-buku bermutu untuk mencerdaskan bangsanya adalah tanggung jawab negara, bukan orang per orang. Tapi di negara kita lain lagi ceritanya. Satu demi satu penerbit-penerbit buku yang dimiliki orang per orang itu berguguran. Bangkrut. Secara ekonomi, industri perbukuan sudah memasuki era sunset. Bukan bisnis yang menguntungkan.

Salah satunya karena minimnya kepedulian negara terhadap dunia perbukuan. Kalau sekadar negara tidak peduli sebenarnya tidak apa-apa, asal jangan ngerecokin. Nyatanya, dunia perbukuan kita selalu “direcoki” oleh masalah perpajakan. Boro-boro memberi apresiasi, subsidi, atau insentif; yang ada negara justru memajaki dengan berbagai dalih ini dan itu. Pajak-pajak di dunia perbukuan inilah yang menjadi salah satu biang kenapa harga-harga buku semakin mahal dan semakin sulit buku bermutu tersedia di pasaran.

Idem ditto. Tidak hanya penerbitnya, para penulisnya juga “direcoki” dengan masalah perpajakan. Boro-boro memberi apresiasi atau insentif, negara justru akan selalu mengintip berapa royalti yang diterima oleh seorang penulis untuk ditagih pajaknya. Itulah, mungkin, salah satu sebab kenapa di Indonesia jarang lahir penulis-penulis hebat berkelas dunia. Nyaris tak ada orang yang segenap hidupnya diabdikan untuk menjadi penulis. Sebab, jika itu dilakukan, maka ia akan menanggung kepapaan. Karena itu, di sini penulis menjadi “kerja sampingan” atau karena keisengan. Nyaris tak ada orang bisa hidup layak hanya dengan menggantungkan dari honor atau royalti menulis.

Padahal, jika meniru tradisi literasi Jepang, misalnya, negara seharusnya justru mendorong, dengan segala apresiasi dan insetif, lahirnya penulis-penulis berbakat di Tanah Air. Misalnya, ini sekadar contoh, saya memiliki karya tulis bermutu dan dinilai akan mencerdaskan, apa susahnya kalau negara membeli hak ciptanya, atau memberi insentif untuk proses penerbitannya, kemudian didistribukan dengan harga terjangkau?

Kalau untuk bagi-bagi sembako di tahun politik yang nilainya hampir Rp 500 triliun saja bisa, apa iya sekadar memberi insentif dunia perbukuan saja negara tak mampu? Lupakan mimpi menjadi negara maju kalau kita masih abai pada nasib buku.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan