Dikutip dari bisnis.com, Senin, 2 Juni 2020, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, akan melakukan mitigasi dan sinergi agar bisa menerapkan protokol kesehatan bagi pondok pesantren yang akan menyambut kedatangan santri kembali melakukan aktivitas dalam koridor normal baru. Tidak hanya Jawa Timur, tetapi daerah-daerah lain juga sudah memulai normal baru.
Beberapa pesantren telah menyatakan diri memasuki normal baru secara bertahap sejak 2 Juni 2020. Hal ini juga mendorong madrasah yang berbasis pondok pesanten ikut melaksakan kegiatan pembelajaran. Tetapi, dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran sebagian besar tetap melakukan Belajar Dari Rumah (BDR).
Hal terebut berlaku khususnya bagi madrasah yang berbasis pondok pesantren yang berada dalam zona merah atau luar pulau. Persoalannya, apakah belajar dari rumah (BDR) itu efektif? Apa yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan BDR?
Untuk mengopitimalkan BDR, guru, tenaga kependidikan, siswa, dan orang tua siswa harus bekerja sama. Berikut hal-hal yang bisa diaplikasikan dalam mengoptimalkan BDR.
Pertama, bekerja sama dengan seluruh guru dan tenaga kependidikan untuk membuat regulasi dan menentukan aplikasi daring yang bisa dipakai oleh guru dan siswa. Dengan pemililhan aplikasi yang bisa dipakai oleh guru dan siswa, akan memudahkan pelaksanaan pembelajaran daring di madrasah berbasis pesantren.
Kedua, mempersiapkan bahan ajar, media ajar, evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan Kurikulum Darurat, serta tutorial pembelajaran daring jarak jauh. Jika poin-poin tersebut disusun dengan benar dan terencana, pembelajaran daring akan tetap berkualitas. Karena itu, selama pandemi Covid-19 belum mereda, seharusnya pihak madrasah perlu mempersiapkan guru yang terampil mendesain pembelajaran daring dan luring.
Misalnya, pilih beberapa guru berprestasi untuk mempersiapkan bahan ajar yang siap digunakan oleh semua guru dalam pembelajaran daring, seperti video pembelajaran, latihan, dan soal-soal pembelajaran daring yang disertai dengan tutorialnya. Sedangkan, pembelajaran luring, guru pilihan tersebut dilatih menyusun modul sebagai bahan ajar dalam sistem pembelajaran modul yang diberikan ke setiap peserta didik yang tidak bisa mengakses internet.
Ketiga, berfokus pada pendidikan karakter dalam BDR. BDR tidak saja pada aspek kognitif, tetapi juga mesti menanamkan pendidikan karakter. Meskipun, pendidik dan peserta didik tidak bisa bertatap muka secara langsung, tetapi pendidikan karakter tetap bisa dilakukan. Guru memberikan penugasan-penugasan praktik baik (good habit) untuk dilakukan peserta didik dalam pengawasan orang tua.
Misalnya, membuat buku agenda harian ibadah. Penanaman pendidikan karakter bisa seperti peserta didik ditugaskan untuk mendirikan salat fardu berjamaah, salat sunah (rawatib, duha, qiyamul lail), tilawah al-Quran, dan sebagainya, sebagai penanaman karakter religius dan sikap spiritual. Sementara, sikap sosial bisa ditugaskan dengan sedekah/infak harian, membantu orang tua: membersihkan rumah, membersihkan tempat tidur, dan sebagainya. Penugasan itu dilaporkan kepada guru kelas tingkat SD atau guru tiap kelompok di tingkat MTs/SMP dan MA/ SMA/ SMK untuk diperiksa dan ditindaklanjuti secara berkala.
Keempat, menjalin kerja sama antara orangtua, sekolah, dan siswa. Selama BDR, sejatinya orang tua yang berperan sebagai fasilitator dan motivator. Selama BDR, orangtua harus bisa menjadi fasilitator dengan cara memenuhi kebutuhan siswa selama BDR, misalnya paket internet, gawai, dan kebutuhan lainnya. Orangtua juga harus memberikan pengawasan dan motivasi pada anaknya untuk belajar sebagaimana yang ditugaskan oleh sekolah. Orangtua harus menjadi teladan dalam mempratikkan perilaku positif dan melibatkan anak-anaknya.
Karena itu, komunikasi sekolah dan orangtua harus dilakukan secara intens. Begitu juga pemerintah dan tokoh masyarakat mendorong orangtua untuk mengoptimalkan kepeduliannya terhadap pendidikan anak. Hanya saja, tidak semua orang tua memiliki kesiapan untuk mengawasi dan mendorong anak-anaknya belajar di rumah.
Kondisi ini menjadi catatan penting bagi orangtua, pemerintah, sekolah, praktisi pendidikan, dan masyarakat luas yang selama ini lebih mengonsentrasikan persoalan pendidikan di jalur formal. Ke depan, pemerintah harus mempersiapkan pembinaan terhadap orangtua agar optimal berperan dalam keluarga.
Kelima, sekolah mengalokasikan dana bantuan operasional madrasah (BOM) untuk pembelajaran daring. Di antara keluhan orangtua dan masyarakat yang sering disuarakan adalah mahalnya biaya belajar daring, terutama membeli paket internet. Seharusnya keluhan dan jeritan masyarakat ini direspons cepat oleh pemerintah.
Sekolah memang dibolehkan untuk menggunakan dana BOM untuk pembiayaan belajar daring. Seperti penjelasan Mendikbud, BOM dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/ atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Namun, dana tersebut tentulah terbatas. Dengan terbatasnya pemakaian BOM, sekolah harus berkoordinasi dengan komite sekolah agar bisa tepat sasaran.
Pembelajaran daring yang berkualitas bisa tercipta jika semua pihak yang terlibat berkoordinasi dan bekerja sama dengan baik. Sikap Kemenag menerbitkan Kurikulum Darurat adalah sebuah wujud sikap tanggap yang sudah tepat meringankan beban guru, siswa, dan orangtua.
Sebagai garda terdepan pendidikan, guru harus merancang kegiatan belajar mengajar sebaik-baiknya agar Kurikulum Darurat bisa terlaksana maksimal. Madrasah juga harus mengomunikasikan dengan baik kepada orangtua agar siswa bisa mengikuti BDR dengan konsisten. Orangtua harus sering memantau kegiatan anak atau paling tidak menanyakan proses hasil belajar anak agar perkembangan belajar anak berhasil maksimal. Siswa pun perlu dijelaskan bahwa dalam BDR ini yang diutamakan pembentukan karakter.